Politik uang atau politik perut adalah suatu bentuk pemberian atau
janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk
memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat
pemilihan umum. Pembelian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang. Politik
uang adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye[1]. Politik uang umumnya
dilakukan simpatisan, kader atau bahkan pengurus partai politik menjelang hari
H pemilihan umum. Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian
berbentuk uang, sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat
dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya
untuk partai yang bersangkutan.
Politik uang sebenarnya akan menyebabkan nilai-nilai demokrasi luntur.
Oleh karenanya, jangan sampai ada pihak yang seolah-olah mendukung politik uang
ini. Politik uang harus tidak ada. Kalau masih terjadi dan sulit dibendung,
maka perlu adanya pengaturan secara rinci melalui undang-undang. Seperti isu
yang terjadi baru-baru ini, pada acara kampanye Hanura beberapa waktu yang lalu
(walau belum tentu dilakukan oleh pihak Hanura atau tanpa sepengetahuan
pimpinan Hanura) berupa pemberian uang bensin atau sebagai ganti uang transport
simpatisan yang hadir pada acara kampanye tersebut. Kejadian seperti ini dapat
memancing pihak lain untuk melakukan hal serupa. Apabila tidak dibendung dengan
sebuah kesepakatan bersama atau dengan perincian undang-undang, maka akan
"bergerak" menjadi "liar". Ini berbahaya. Maka pihak yang
berwenang perlu mencari inisiatif untuk menangani masalah ini. Misalnya dengan
suatu pengaturan tertentu. Hingga pemilu saat ini, pihak yang kontra terhadap
politik uang masih kesulitan untuk "menghalaunya".
Pengaturan terkait pemberian ini bisa dilakukan dengan cara:
1. Pembatasan nominal uang atau nilai nominal barang jika diuangkan.
Misalnya, maksimal Rp.20.000,- dan sekali.
2. Waktu pemberian. Kapan waktu yang boleh untuk memberi dan kapan tidak
lagi boleh memberi. Misalnya, pada masa tenang sudah tidak ada toleransi jika
masih ada yang melakukan pemberian.
3. Momen pemberian. Misalnya: Pemberian hanya bisa dilakukan pada
acara-acara tertentu dari partai, seperti acara kampanye atau rapat terbuka
partai. Sehingga, pemberian yang dilakukan diluar acara partai yang dilakukan
oleh orang-orang partai atau orang-orang suruhannya termasuk kategori yang
tidak bisa dikecualikan.
Secara umum, masalah beri memberi tidak akan pernah musnah.
Masalahnya, apakah pemberian itu bisa dikategorikan politik uang atau tidak!.
Setelah membaca hal-hal di atas, perlu kiranya saya sampaikan beberapa contoh.
Misalnya, sudah memasuki masa tenang, ada seorang simpatisan bertamu kepada
salah seorang pengurus partai "A" kemudian sang tuan rumah menyuguhi
segelas minuman, sepotong kue atau semangkok kolak atau sepiring nasi. Apakah
pemberian tersebut bisa dikategorikan politik uang?. Contoh lainnya. Pada
sekitar setahun yang lalu, partai "B" melakukan aksi sosial
pengobatan gratis, atau membagi-bagikan sembako. Apakah aksi sosial tersebut
bisa dikategorikan politik uang atau apakah aksi sosial tersebut tidak bisa
dikategorikan sebagai politik uang?. Contoh lainnya, pada saat kampanye partai
"C" seorang jurkam berjanji akan menaikkan gaji PNS atau berjanji
akan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Apakah ini tidak termasuk politik uang?
Untuk memahami persoalan di atas, perlu kiranya kita mempelajari perihal
Penyelenggaan Pemilu. Bagaimana undang-undang tentang Penyelenggaraan Pemilu.
Oleh karenanya, setiap pemberian atau janji-janji tidak mesti tergolong sebagai
politik uang sebelum merujuk kepada Undang-undang Penyelenggaraan Pemilu.
Hingga pemilu saat ini, pihak yang kontra terhadap politik uang masih
kesulitan untuk "menghalaunya". Bagi kita yang anti terhadap politik
uang, ada baiknya apabila memperhatikan pernyataan Wakil Ketua KPK Bambang
Widjojanto, diantaranya, "Pemilih lebih baik memilih caleg yang sudah
dikenal rekam jejak perilakunya daripada yang tidak jelas asal-usulnya."[2]
Rekam jejak ada dua macam, yakni antara kebaikan dan keburukan atau kebenaran
dan kesalahan. Keduanya juga ada pembagiannya, tingkat kebaikan dan keburukan
atau tingkat kebenaran dan kesalahan. Tingkat keburukan atau kesalahan dapat
dibagi menjadi tiga; yaitu: 1. Kelas berat 2. Kelas sedang 3. Kelas ringan.
Contoh dari kelas ringan ini, misalnya pernah membawa anak-anak saat
kampanye.Berita Kampanye[3] Untuk ketiga tingkatan tersebut, mungkin untuk
tingkat kelas ringan masih bisa ditoleransi.
---Penyebab Politik Uang---
Penyebab dari politik uang ini, berdasarkan arah terjadinya dapat
dibagi menjadi dua: Pertama, karena keinginan caleg untuk menang. Kedua, karena
keinginan pemilih untuk menerima.
Sedangkan berdasarkan maraknya terjadinya dapat dibagi menjadi lima:
Pertama, tingkat kemakmuran rakyat masih rendah. Kedua, pengaruh ajaran
kapitalis. Ketiga, gagalnya ajaran kebahagiaan. Keempat, kekayaan yang
diperoleh anggota legislatif. Kelima, ketidaksukaan pemilih terhadap caleg atau
partai tertentu. Misalnya, karena janji-janjinya tidak terlaksana sama sekali
sehingga mereka "mencoba" untuk memilih caleg baru.
Politik uang ini sangat berpengaruh bagi perolehan suara partai atau
caleg tertentu. Namun demikian, penyebab kemenangan atau kekalahan dari caleg
atau partai tertentu, tidak semata-mata disebabkan oleh politik uang. Ada
beberapa sebab lain yang menyebabkan kemenangan atau kekalahan dari caleg atau
partai tertentu, diantaranya: Pertama; Kekecewaan pemilih terhadap anggota
legislatif pada periode sebelumnya. Kedua; Kesalahan pemilih dalam mencoblos
karena keawaman. Ketiga; Kebingungan pemilih karena design kartu suara.
Keempat; Tidak dikenalnya caleg. Kelima; rekam jejak caleg.[4]
Dari terjadinya politik uang di kawasan masyarakat tertentu dalam hal
keterlaksanaannya dapat dibagi menjadi tiga: Pertama; penerima bersedia
menerima pemberian sekaligus bersedia memilih caleg pemberi. Kedua; penerima
bersedia menerima pemberian tetapi tidak bersedia memilih caleg pemberi.
Ketiga; penerima tidak bersedia menerima pemberian dari caleg.
Pasal 73 ayat 3 Undang Undang No. 3 tahun 1999 berbunyi:
"Barang siapa pada waktu diselenggarakannya pemilihan umum
menurut undang-undang ini dengan pemberian atau janji menyuap seseorang, baik
supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia
menjalankan haknya dengan cara tertentu, dipidana dengan pidana hukuman penjara
paling lama tiga tahun. Pidana itu dikenakan juga kepada pemilih yang menerima
suap berupa pemberian atau janji berbuat sesuatu."
Semua pihak yang berkompeten dengan masalah pemilu atau pemerhati
pemilu, seharusnya mempelajari undang-undang pemilu. Apabila ada hal "yang
mengganjal" di pikiran mengenai undang-undang pemilu atau yang terkait
dengan pemilu maka segera suarakan untuk membenahi atau menyempurnakan
undang-undang yang sudah ada. Selain itu, Undang-undang mengenai politik uang
ini perlu disosialisasikan sampai ke pelosok-pelosok. Sosialisasi Undang-undang
mengenai politik uang ini bisa efektif dengan poster atau stiker.
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Politik_uang