KELOMPOK SOSIAL
Kelompok.sosial merupakan suatu
gejala yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena sebagian besar
kegiatan manusia berlangsung di dalamnya. Kelahiran Anda pun menandai
keanggotaan Anda dalam berbagai kelompok lain. Di samping menjadi anggota
keluarga, sebagai seorang bayi yang lahir di suatu desa atau kola Anda menjadi
warga salah satu umat agama; warga suatu suku bangsa atau kelompok etnik; warga
rukun tetangga, warga rukun kampung dan warga desa atau kola; warga negara RI.
Dari hal tersebut jelaslah bahwa
tanpa kita sadari sejak lahir hingga ajal kita sebenarnya menjadi anggota
berbagai jenis kelompok. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan mengapa para
tokoh sosiologi senantiasa mempunyai perhatian besar terhadap gejala
pengelompokan manusia
Klasifikasi Kelompok
Salah satu dampak perubahan
jangka panjang yang melanda Eropa Barat dan kemudian menyebar ke seluruh
pelosok dunia ialah terjadinya perubahan dalam pengelompokan anggota
masyarakat.
Klasifikasi Bierstedt
usaha untuk mengklasifikasikan
jenis kelompok; satu di antaranya ialah klasifikasi dari Robert Bierstedt
(1948). Bierstedt menggunakan tiga kriteria untuk membedakan jenis kelompok,
yaitu ada tidaknya (a) organisasi, (b) hubungan sosial di antara anggota
kelompok, dan (c) kesadaran jenis. Ber¬dasarkan ketiga kriteria tersebut
Bierstedt kemudian membedakan empat jenis kelompok; kelompok statistik
(statistical group), kelompok kemasyarakatan (societal group), kelompok sosial
(social group), dan kelompok asosiasi (associational group).
Kita akan mulai dengan jenis
kelompok ketiga yang memenuhi kriteria tersebut di atas, yaitu kelompok
asosiasi. Dalam jenis kelompok ini para anggotanya mempunyai kesadaran jenis;
dan menurut Bierstedt (dengan mengutip 'pandangan Maclver) pada kelompok ini
dijumpai persamaan.kepentingan pribadi (like interest) maupun kepentingan
bersama (common interest). Di samping itu di antara para anggota kelompok
asosiasi kita jumpai adanya hubungan social ¬adanya kontak dan komunikasi.
Selain itu di antara para anggota dijumpai adanya ikatan organisasi formal.
Dari riwayat hidup kita dapat ditelusuri berbagai kelompok asosiasi yang di
dalamnya kita menjadi anggota, seperti misalnya Negara RI, sekolah, OSIS,
Gerakan Pramuka, fakultas, senat mahasiswa, partai politik, Korps Pegawai
Negeri RI, Ikatan Motor Indonesia, dan sebagainya.
Kelompok jenis kedua--kelompok sosial--merupakan
kelompok yang anggotanya mem¬punyai kesadaran jenis dan berhubungan satu dengan
yang lain tetapi tidak terikat dalam ikatan organisasi. Contoh yang disajikan
Bierstedt ialah kelompok teman, kerabat dan sebagainya.
Kelompok jenis ketiga, kelompok
kemasyarakatan, merupakan kelompok yang hanya memenuhi satu persyaratan, yaitu
kesadaran akan persamaan di antara mereka. Di dalam kelompok jenis ini belum
ada kontak dan komunikasi di antara anggota, dan juga belum ada organisasi.
Berbeda dengan kelompok asosiasi, maka menurut Bierstedt kelompok ini dijumpai
persamaan kepentingan pribadi tetapi bukan kepentingan bersama. Hasil Sensus
Penduduk yang _ ditakukan Biro Pusat Statistik pada tahun 1990, misalnya,
menunjukkan bahwa apabila dikelompokkan menurut jenis kelamin maka penduduk
Indonesia terdiri atas 89.448.235 laki-laki dan 89.873.406 perempuan.
Kelompok statistik merupakan
kelompok yang tidak memenuhi ketiga kriteria tersebut di atas--kelompok yang
tidak merupakan organisasi, tidak ada hubungan sosial antara anggota, dan tidak
ada kesadaran jenis. Oleh Bierstedt dikemukakan bahwa kelompok statistik ini
hanya ada dalam arti analitis dan merupakan hasil ciptaan para ilmuwan sosial.
Contoh yang dapat kita sajikan mengenai kelompok statistik ini ialah, antara
lain, pengelompokan sejumlah penduduk berdasarkan usia dengan interval lima
tahun yang antara lain dilakukan oleh Biro Pusat Statistik (0-4 tahun, 5-9
tahun dan seterusnya sampai 75 tahun ke atas). Pada anak-anak yang
diketompokkan dalam kategori terendah tersebut (yang kadangkala dinamakan
kelompok Balita-¬kelompok usia di bawah lima tahun) maupun dalam kelompok umur
berikutnya tidak dijumpai organisasi, kesadaran mengenai keanggotaan dalam
kelompok, atau pun hubungan sosial.
Bierstedt mengingatkan kita bahwa
di luar klasifikasi ini masih ada kelompok lain yang tidak tercakup. Contoh
yang disajikannya ialah kelompok yang memenuhi persyaratan hubungan sosial
tetapi tidak mempunyai kesadaran jenis, dan kelompok yang anggotanya bukan
per-seorangan melainkan kelompok. Dikemukakannya pula bahwa suatu jenis
kelompok dapat beralih menjadi jenis kelompok lain. Contoh mengenai hal ini
dapat kita cari dengan mudah: dalam suatu kelompok kemasyarakatan (misalnya:
perempuan) dapat berkembang kelompok sosial (misalnya kelompok arisan ibu-ibu)
dan kelompok asosiasi (misalnya organisasi perempuan seperti KOWANI atau Dharma
Wanita). Kita dapat menyajikan data mengenai jumlah pasangan orang kembar di
Indonesia, tetapi di sini pun ada brganisasi formal yang anggotanya terdiri
atas orang kembar. Di kalangan para lanjut usia kita (suatu kelompok statistik)
ada yang tergabung dalam kelompok asosiasi (seperti PEPABRI atau Warakawuri).
Klasifikasi Merton
Robert K. Merton merupakan salah
seorang ahli sosiologi yang banyak menulis mengenai konsep kelompok. Dalam
salah satu tulisannya Merton mendefinisikan konsep kelompok secara sosiologi
sebagai "a number of people who interact with one another in accord with
established patterns" (1965:285)--sekelompok orang yang saling berinteraksi
sesuai dengan pola yang telahmapan.
Merton (1965:285-286) menyebutkan
tiga kriteria objektif bagi suatu kelompok. Pertama, kelompok ditandai oleh
sering terjadinya interaksi. Kedua, pihak yang berinteraksi mendefinisi¬kan
diri mereka sebagai anggota. Ketiga, pihak yang berinteraksi didefinisikan oleh
orang lain sebagai anggota kelompok.
Menurut Merton--dengan mengikuti
pandangan tokoh sosiologi seperti Znaniecki atau Parsons--konsep kelompok harus
dibedakan dengan konsep kolektiva (collectivities), yang didefinisikannya
sebagai "people who have a sense of solidarity by virtue of sharing common
values and who have acquired an attendant sense of moral obligation to fulfill
role-expectations" (1965:29S). Dalam definisi ini tidak dijumpai unsur
interaksi; kriteria yang ditonjolkan ialah adanya sejumlah orang yang mempunyai
solidaritas atas dasar nilai bersama yang dimiliki serta adanya rasa kewajiban
moral untuk menjalankan peran yang diharapkan.
Konsep lain yang diajukan pula
oleh Merton ialah konsep kategori sosial (social categories). Kategori sosial
adalah suatu himpunan peran yang mempunyai ciri sama seperti jenis kelamin atau
usia. Antara para pendukung peran tersebut tidak terdapat interaksi.
Durkheim: Solidaritas mekanik dan
solidaritas organik
Salah seorang ahli sosiologi awal
yang secara rinci membahas perbedaan dalam penge¬lompokan ini ialah Durkheim.
Dalam bukunya The Division of Labor in Society (1968) ia mem¬bedakan antara
kelompok yang didasarkan pada solidaritas mekanik, dan kelompok yang didasarkan
pada solidaritas organik. Solidaritas mekanik merupakan ciri yang menandai
masyarakat yang masih sederhana, yang oleh Durkheim dinamakan segmental. Dalam
masyarakat demikian kelompok manusia tinggal secara tersebar dan hidup terpisah
satu dengan yang lain. Masing¬-masing kelompok dapat memenuhi keperluan mereka
masing-masing tanpa memerlukan bantuan atau kerja sama dengan kelompok di
luarnya. Masing-masing anggota pada umumnya dapat menjalankan peran yang
diperankan oleh anggota lain; pembagian kerja belum berkembang. peran semua
anggota sama sehingga ketidakhadiran seorang anggota kelompok tidak
mempengaruhi kelangsungan hidup kelompok karena peran anggota tersebut dapat
dijalankan orang lain.
Dalam masyarakat yang menganut
solidaritas mekanik, yang diutamakan ialah persamaan perilaku dan sikap.
Perbedaan tidak dibenarkan. Menurut Durkheim seluruh warga masyarakat diikat
oleh apa yang dinamakannya kesadaran kolektif, hati nurani kolektif (collective
conscience)¬-suatu kesadaran bersama yang mencakup keseluruhan kepercayaan dan
perasaan kelompok, dan bersifat ekstern serta memaksa.
Solidaritas organik merupakan
bentuk solidaritas yang mengikat masyarakat kompleks¬ masyarakat yang telah
mengenal pembagian kerja yang rind dan dipersatukan oleh kesaling¬tergantungan
antarbagian. Tiap anggota menjalankan peran berbeda, dan di antara berbagai
peran yang ada terdapat kesalingtergantungan laksana kesalingtergantungan
antara bagian suatu organisme biologis. Karena adanya kesalingtergantungan ini
maka ketidakhadiran pemegang peran tertentu akan mengakibatkan gangguan pada
kelangsungan hidup masyarakat. Tidak berperannya tentara, misalnya, berarti
bahwa masyarakat rentan terhadap serangan dari masyarakat lain; tidak
berperannya petani akan mengakibatkan masalah dalam oroduksi dan penyediaan
bahan pangan yang dapat mengancam kelangsungan hidup masyarakat.
Pada masyarakat dengan
solidaritas organik in!, ikatan utama yang mempersatukan masyarakat bukan lagi
kesadaran kolektif atau hati nurani kolektif (collective conscience) melainkan
kesepakatan yang terjalin di antara berbagai kelompok profesi. Di sini pun
hukum yang menonjol bukan lagi hukum pidana, melainkan ikatan hukum perdata.
Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap kesepakatan bersama maka yang berlaku
ialah sanksi restitutif: si pelanggar harus membayar ganti rugi kepada pihak
yang menderita kerugian untuk mengembalikan keseimbangan ang telah
dilanggarnya.
Tonnies: Gemeinschaft dan
Gesellschaft
Tokoh sosiologi klasik lain--kali
ini dari Jerman--yang juga mengulas secara rinci per¬bedaan pengelompokan dalam
masyarakat ialah Ferdinand Tonnies. Dalam bukunya Gemeinschaft und Gesellschaft
ia mengadakan pembedaan antara dua jenis kelompok, yang dinamakannya
Gemeinschaft dan Gesel/schaft. Menurut Tonies:
All intimate, private, and
exclusive living together. .. is understood as life in Gemeinschaft
(community). Gesellschatt (society) is public life--it is the world itself. In
Gemeinschaft with one's family, one lives from birth on, bound to it in weal
and woe. One goes into Gesellschaft as on goes into a strange country (Tonnies,
1963:33-34).
Di sini Gemeinschaft
digambarkannya sebagai kehidupan bersama yang intim, pribadi dan eksklusif;
suatu keterikatan yang dibawa sejak lahir. Tonnies, misalnya, menggambarkan
ikatan pernikahan sebagai suatu "Gemeinschaft of life." Ia pun
berbicara mengenai suatu Gemeinschaft di bidang rumah tangga, agama, bahasa,
adat, yang dipertentangkannya dengan Gesellschaft dibidang ilmu atau
perdagangan.
Tonnies membedakan antara tiga
jenis Gemeinschaft. Jenis pertama, Gemeinschaft by blood, mengacu pada
ikatan-ikatan kekerabatan. Gemeinschaft of place pada dasarnya merupakan ikatan
yang berlandaskan kedekatan letak tempat tinggal ser'ta tempat bekerja yang
mendorong orang untuk berhubungan secara intim satu dengan yang lain, dan
mengacu pada kehidupan bersama di daerah pedesaan. Jenis ketiga, Gemeinschaft
of mind, mengacu pada hubungan persahabatan, yang disebabkan oleh persamaan
keahlian atau pekerjaan serta pandangan yang mendorong orang untuk saling
berhubungan secara teratur. Menurut Tonnies, Gesellschaft merupakan suatu nama
dan gejala baru. Gesellschaft dilukis¬kannya sebagai kehidupan publik; sebagai
orang yang kebetulan hadir bersama tetapi masing¬masing tetap mandiri.
GesellschaR bersifat sementara dan semu. Menurut Tonnies perbedaan yang
dijumpai antara kedua macam kelompok ini ialah bahw~ dalam Gemeinschaft
individu tetap bersatu meskipun terdapat berbagai faktor yang memisahkan
mereka, sedangkan dalam Gesellschaft individu pada dasarnya terpisah kendatipun
terdapat banyak faktor pemersatu.
Tonnies mengemukakan bahwa
Gemeinschatt ditandai oleh kehidupan organik, sedangkan Gesellschaft ditandai
oleh struktur mekanik. Pendapat ini menarik, mengingat bahwa, sebagalmana telah
kita lihat di atas, Durkheim menggunakan konsep yang sama untuk menggambarkan
ciri kelompok yang berlawanan; menurut Durkheim kelompok segmental justru
bersifat mekanik sedangkan solidaritas pada kelompok terdiferensiasi justru
bersifat organik.
Cooley: Primary Group
Masalah perubahan dalam kualitas
pengelompokan pun menarik perhatian ahli sosiologi dari Amerika. Pada tahun
1909 Charles Horton Cooley memperkenalkan konsep primary group, yang
didefinisikannya sebagai kelompok yang "characterized by intimate
face-to-face association and cooperation"--kelompok yang ditandai oleh pergaulan
dan kerja sama tatap muka yang intim. Menurutnya ruang lingkup terpenting dari
kelompok primer ini.adalah keluarga, teman bermain pada anak kecil, dan rukun
warga serta komunitas pada orang dewasa. Dalam pandangannya pergaulan intim ini
menghasilkan terpadunya individu dalam satu kesatuan sehingga dalam banyak hal
did seseorang menjadi hidup dan tujuan bersama kelompok. Menurut Cooley
keterpaduan, simpati dan identifikasi bersama ini diwujudkan dalam kata
"kita" (lihat Cooley, 1909).
Menurut Ellsworth Faris (1937)
kelompok primer dapat dipertentangkan dengan kelompok formal, tidak pribadi,
dan berciri kelembagaan. Nama apa yang harus kita berikan bagi kelompok yang
tidak merupakan kelompok primer itu? Faris mengemukakan bahwa sejumlah ahli
sosiologi telah menciptakan konsep secondary group--suatu konsep yang tidak
kita jumpai dalam karya
Cooley.
Faris melihat bahwa konsep
kelompok primer yang diperkenalkan Cooley, yang mengandung unsur tatap muka,
pengutamaan pengalaman terdahulu, serta perasaan kebersamaan yang terwujud
dalam ungkapan "kita" mengandung berbagai persoalan. Sebagai contoh
antara lain dikemukakannya bahwa beberapa orang kerabat yang mempunyai rasa
kebersamaan dan keterpaduan namun tinggal di tempat yang berjauhan sehingga
hanya dapat berhubungan dengan surat merupakan kelompok primer meskipun mereka
tidak dapat berhubungan secara tatap muka. Faris pun mempertanyakan apakah
suatu keluarga yang di dalamnya orang tua menindas anak-anak-mereka dapat
dinamakan kelompok primer meskipuh syarat tatap muka dipenuhi karena perasaan
"kita" yang menandai kebersamaan dan keterpaduan mungkin tidak
dijumpai.
Sumner: In-Group dan Out-Group
Suatu klasifikasi lain, yaitu
pembedaan antara in-group dan out-group, didasarkan pada konsep in-group yang
diperkenalkan oleh W.G. Sumner (1940). Sumner mengemukakan bahwa
"masyarakat primitif," yang merupakan kelompok kecil yang tersebar di
suatu wilayah, muncul diferensiasi antara kelompok kita (we-group) atau
kelompok dalam (in-group) dengan orang lain: kelompok orang lain (others-group)
atau kelompok luar (out-groups). Menurut Sumner di kalangan anggota kelompok
dalam dijumpai persahabatan, kerjasama, keteraturan dan kedamaian sedang¬kan
hubungan antara kelompok dalam dengan kelompok luar cenderung ditandai
kebencian, permusuhan, perang clan perampokan.
Menurut Sumner selanjutnya,
perasaan yang berkembang pada masyarakat modern ialah patriotisme. Meskipun
dalam masyarakat modern batas kelompok telah diperluas dan keanggotaan yang
dijadikan acuan ialah kewarganegaraan, namun dalam patriotisme kesetiaan pada
kelompok dan pimpinan kelompok serta perasaan etnosentrisme tetap
dipertahankan. Setiap warga negara diharapkan berkorban untuk negaranya. Dalam
pandangan Sumner patriotisme ini bahkan dapat berkembang menjadi chauvinisme.
Merton: Membership group dan
Reference group.
Robert K. Merton memusatkan
perhatiannya pada kenyataan bahwa keanggotaan dalam suatu kelompok tidak
berarti bahwa seseorang akan menjadikan kelompoknya menjadi acuan bagi cara
bersikap, menilai maupun bertindak. Kadang-kadang perilaku seseorang tidak
meng-acu pada kelompok yang di dalamnya ia menjadi anggota, melainkan pada
kelompok lain. Pandangan Merton tercermin dalam kalimat berikut ini:
Reference groups are, in
principle, almost innumerable: any of the groups of which one is a member, and
these are comparatively few, as well as groups of which one is not a member,
and these are, of course, legion, can become points of reference for shaping
one's attitudes, evaluations and behavior (Merton, 1965:233).
Dari pernyataan Merton ini nampak
bahwa kelompok acuan berjumlah sangat banyak, dan mencakup bukan hanya kelompok
yang di dalamnya orang menjadi anggota melainkan juga sejumlah besar kelompok
yang di dalamnya seseorang tidak menjadi anggota. Kelompok acuan yang berjumlah
banyak tersebut menjadi acuan bagi sikap, penilaian dan perilaku seseorang.
Merton menekankan bahwa dalam
berperilaku dan bersikap seseorang dapat menunjuk-kan konformitas pada kelompok
luar (out-group)--pada aturan dan nilai kelompok lain. Ini berarti bahwa orang
tersebut tidak mengikuti aturan kelompok dalamnya sendiri (nonconformity to the
norms of the in-group. Lihat Merton, 1965:264
Merton pun membahas perubahan
kelompok acuan manakala keanggotaan kelompok seseorang berubah. Menurut Merton
gejala ini menarik, karena kedua peristiwa tersebut tidak berlangsung pada saat
yang bersamaan; perubahan kelompok acuan sering mendahului perubahan
keanggotaan kelompok. Seorang siswa kelas 3 SMU, misalnya, dalam berperilaku
dan bersikap sering sudah berorientasi pada aturan dan nilai yang berlaku di
kalangan perguruan tinggi meskipun secara resmi ia belum berstatus mahasiswa
(belum berstatus anggota) dan masih menjadi siswa SMU. Perubahan orientasi yang
mendahului perubahan keanggotaan kelompok seperti ini oleh Merton diberi nama
sosialisasi antisipatoris (anticipatory socialization). Menurut Merton proses
sosialisasi antisipatoris ini mempunyai dua fungsi: membantu diterimanya
seseorang dalam kelompok baru, dan membantu penyesuaian anggota baru dalam
kelompok yang baru itu.
Parsons: Variabel Pola
Tokoh sosiologi modern, Talcott
Parsons, memperkenalkan perangkat variabel pola (pattern variables) yang oleh
banyak ahli sosiologi sering dianggap sebagai salah satu sumbangan teoretisnya
yang terpenting. Menurut Parsons variabel pola merupakan seperangkat dilema
universial yang dihadapi dan harus dipecahkan seorang pelaku dalam setiap
situasi sosial. Variabel pola ini memungkinkan dilakukannya perbandingan antara
bermacam-macam kelompok, termasuk di dalamnya yang berada dalam kebudayaan lain
(pembahasan tentang Parsons ini didasarkan pada Devereux, 1976:39-44.
Parsons mengidentifikasikan lima
perangkat dilema: affectivity-affective neutrality, specificity¬diffuseness,
universalism-particularism, quality-performance, self-orientation -
collectivity¬
orientation. Dikotomi yang
pertama, affectivity-affective neutrality mengacu pada dilema antara
ada-tidaknya perasaan kasih sayang ataupun kebencian dalam suatu interaksi.
Dalam hubungan antara pelaku yang terikat oleh pertalian kekerabatan ataupun
ikatan pernikahan, sikap afektif dapat diharapkan; namun dalam hubungan antara
atasan dan bawahan, antara guru dan murid, atau antara nasabah dan langganannya
yang diharapkan ialah adanya affective neutrality-¬ketiadaan sikap afektif.
Specificity-diffuseness mengacu
pada dilema antara kekhususan dan kekaburan. Dalam situasi interaksi antara
orang tua dan anak, misalnya, kita sering menjumpai kekaburan (diffuseness);
seorang anak yang melakukan kesalahan di suatu bidang tertentu-misalnya
memecahkan piring di waktu makan pagi--mungkin akan dimarahi sepanjang hari,
walaupun interaksinya dengan orang tuanya tidak ada hubungannya dengan kegiatan
makan. Di pihak lain, kita mengharapkan akan menjumpai kekhususan (specificity)
dalam situasi sekolah. Seorang siswa SMP yang ditegur guru karena memperoleh
nilai buruk dalam ulangan mate-matika, misalnya, pada jam pelajaran berikutnya
mungkin dipuji gurunya karena memperoleh nilai baik sekali dalam mata pelajaran
biologi.
Dilema berikutnya,
universalism-particularism, mengacu pada dilema antara dipakai-tidaknya ukuran
universal. Universalism diharapkan akan dijumpai, misalnya, di lingkungan
sekolah; setiap orang siswa diharapkan memperoleh perlakuan sama dari
guru--siapa pun juga akan dipuji bila berprestasi dan dicela bila tidak berprestasi.
Dalam situasi keluarga, di pihak lain, sering berlaku perlakuan khusus
(particularism); seorang anak sering lebih diutamakan oleh orang tuanya
daripada anak lain.
Dikotomi quality-performance
mengacu pada situasi yang di dalamnya orang harus memutuskan apakah yang
penting faktor yang dibawa sejak lahir ataukah suatu perangkat prestasi
tertentu. Kalau dalam suatu hubungan faktor yang dibawa sejak lahir seperti
jenis kelamin, usia atau hubungan kekerabatan lebih penting, maka hubungan
diwarnai oleh kualitas. Namun bilamana dalam suatu hubungan yang dipentingkan
ialah prestasi, seperti misatnya hubungan guru atau pelatih olahraga dengan
para siswa mereka, maka hubungan tersebut diwarnai oleh prestasi.
Variabel pola terakhir,
self-orientation dan collectivity-orientation menitikberatkan pada orientasi
pelaku dalam suatu hubungan. Manakala dalam suatu hubungan seseorang
berorientasi pada kepentingan diri-sendiri, seperti misalnya pada hubungan
perniagaan, maka kita berbicara mengenai orientasi pada dirisendiri. Namun
bilamana dalam suatu hubungan dijumpai orientasi pada kepentingan umum, yaitu
dalam hal pelaku yang terlibat dalam institusi pelayanan--misalnya rohaniwan,
dokter, pemadam kebakaran-maka kita berbicara mengenai orientasi pada
kolektiva.
Geertz: Priayi, Santri, dan
Abangan
Suatu klasifikasi yang digali
Geertz dari masyarakat Jawa (khususnya masyarakat suatu kota di Jawa Timur
serta daerah pedesaan di sekitarnya) ialah pembedaan antara kaum abangan,
santri dan priayi (lihat Geertz, 1964). Meskipun klasifikasi ini banyak
dikritik dan gejala yang diamati Geertz pun terjadi pada tahun 50-an dan 60-an
sehingga kini telah-banyak berubah, namun pemikiran Geertz ini cukup penting
untuk kita ketahui karena sering digunakan para ilmuwan untuk menjelaskan
berbagai peristiwa di kala itu--terutama kehidupan politik kita di tahun-tahun
menjelang terjadinya tragedi pada tahun 1965 berupa kudeta Gerakan Tiga Puluh
September serta epilognya.
Menurut Geertz pembagian
masyarakat yang ditelitinya ke dalam tiga tipe budaya ini didasarkan atas
perbedaan pandangan hidup di antara mereka. Subtradisi abangan yang menurut
Geertz diwarnai berbagai upacara selamatan, praktik pengobatan tradisional
serta kepercayaan pada makhluk halus dan kekuatan gaib itu terkait pada kehidupan
di pedesaan. Subtradisi santri yang ditandai oleh ketaatan pada ajaran agama
Islam serta keterlibatan dalam berbagai organisasi sosial dan politik yang
bernafaskan Islam dijumpai di kalangan pengusaha yang banyak bergerak di pasar
maupun di desa selaku pemuka agama. Subtradisi ketiga, priayi, ditandai
pengaruh mistik Hindu-Buddha prakolorrial maupun pengaruh kebudayaan Barat dan
dijumpai pada kelompok elite "kerah putih" (white collar elite) yang
merupakan bagian dari birokasi pemerintah. Dengan demikian Geertz melihat
adanya keterkaitan erat antara ketiga subtradisi ini--abangan, santri dan
priayi--dengan tiga lingkungan--desa, pasar dan birokrasi pemerintah.
Di tahun 50-an dan 60-an dijumpai
suatu pengelompokan yang terdiri atas partai politik yang masing-masing
mempunyai organisasi massa sendiri--suatu pengelompokan yang oleh Geertz
dinamakan aliran (lihat Geertz, 1959). Di Jawa Geertz mengidentifikasikan empat
aliran: PNI, PKI, Masyumi dan NU. Yang menarik ialah bahwa pola aliran tersebut
kemudian dikaitkan dengan ketiga subtradisi Geertz; muncul pandangan bahwa
ketiga subtradisi tersebut melandasi penge¬lompokan aliran. Menurut pendapat
ini aliran berhaluan Islam didukung oleh kaum santri, PNI berintikan kaum
priayi, dan PKI didukung oleh kaum abangan.
Sebagaimana telah disebutkan,
klasifikasi Geertz telah memancing berbagai reaksi. Harsja W. Bachtiar (1973),
misalnya, menemukan beberapa masalah dalam klasifikasi Geertz ini. Harsja
Bachtiar antara lain mengemukakan bahwa Geertz tidak secara tegas mengemukakan
apakah klasifikasinya merupakan klasifikasi budaya ataukah klasifikasi
kelompok. Sebagai klasifikasi kelompok, pembagian Geertz ini menurut Harsja
Bachtiar tidak memadai karena besarnya kemungkinan tumpang tindih. Dari segi
ketaatan pada ajaran agama Islam, misalnya, seorang priayi dapat
diklasifikasikan sebagai santri atau abangan.
Organisasi Formal
Weber memusatkan perhatian pada
organisasi formal dalam masyarakat modem. Menurut¬nya dalam masyarakat modern
kita,menjumpai suatu hubungan kekuasaan rasional-legal--suatu sistem jabatan
modern (modern officialdom) yang dijumpai baik di bidang pemerintahan maupun di
bidang swasta. Sistem jabatan ini dinamakan birokrasi (bureaucracy), yang
berarti pengaturan atau pemerintahan oleh pejabat (lihat Giddens, 1989:277).
Menurut Reinhard Bendix organisasi birokrasi yang disebutkan Weber mengandung
sejumlah prinsip (lihat Bendix, 1960:418-419), yaitu (1) urusan kedinasan
dilaksanakan secara berkesinambungan, (2) urusan kedinasan didasarkan pada
aturan dalam suatu badan administratif, (3) tanggung jawab dan wewenang tiap
pejabat merupakan bagian dari suatu herarki wewenang, (4) pejabat dan pegawai
administratif tidak memiliki sarana dan prasarana yang diperlukan untuk
pelaksanaan tugas, (5) para pemangku jabatan tidak dapat memperjualbelikan
jabatan laksana milik pribad-i, dan (6) urusan kedinasan dilaksanakan dengan
menggunakan dokumen tertulis.
Kelompok Formal Dan Kelompok
Informal
Suatu gejala yang menarik
perhatian banyak ilmuwan sosial ialah adanya keterkaitan antara kelompok formal
dan kelompok informal. Segera setelah seseorang menjadi anggota organisasi
formal seperti sekolah, urniversitas, perusahaan atau kantor, ia sering mulai
menjalin hubungan persahabatan dengan anggota lain dalam organisasi formal
tersebut sehingga dalam organisasi formal akan terbentuk berbagai kelompok
informal, seperti kelompok teman sebaya, kelompok yang tempat tinggalnya
berdekatan, kelompok yang bertugas dalam satu bagian kantor yang sama, kelompok
yang lulus dari perguruan tinggi sama, kelompok yang lulus sekolah seangkatan
dan sebagainya.
Hubungan antara organisasi formal
dan kelompok informal dapat pula kita jumpai dalam bidang pekerjaan. Di satu
pihak kita dapat menjumpai studi yang mengungkapkan bahwa hubungan persahabatan
antara teman sekerja dapat memperlancar urusan kedinasan. Namun ada pula studi
yang memperlihatkan adanya kesenjangan antara tujuan organisasi dengan tujuan
kelompok informal; di kalangan sekelompok kaum buruh dapat terjalin kesepakatan
untuk menetapkan sasaran produksi yang lebih rendah daripada sasaran produksi
yang ditetapkan oleh perusahaan, atau--sebagaimana halnya dengan kasus absensi
mahasiswa tersebut di atas--kesepakatan untuk menutupi ketidakhadiran seorang
teman yang absen karena tidak masuk kerja, datang terlambat, atau pulang
sebelum waktunya.
Pertanyaan :
1. Mengapa semangat anggota
tentara Indonesia, yang menjadi tawanan musuh tidak luntur karena tekanan keras
dalam masa tahanan atau propaganda musuh yang mengatakan bahwa masyarakat
Indonesia tidak mendukung-nya?
2. Andaikan anda ingin mengubah
perilaku sekelompok orang, cara manakah yang lebih berkemungkinan untuk
berhasil? : (1) mendekati langsung para individu untuk mengubah perilaku
mereka, yang pada akhirnya akan mengubah perilaku kelompok?; atau (2) mengubah
situasi atau cara kerja kelompok dengan pemikiran bahwa cara tersebut akan
mempengaruhi perilaku para individu dalam kelompok tersebut?
0 komentar:
Posting Komentar