BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Sosiologi
adalah ilmu yang mempelajari tentang fenomena sosial yang terjadi dalam
masyarakat. Fenomena sosial dalam masyarakat banyak ragamnya kadangkala
fenomena sosial berkembang menjadi suatu masalah sosial akibat perbedaan cara
pandang mengenai Fenomena tersebut. Dalam menyelesaikan masalah social
dibutuhkan suatu teori untuk menyelesaikannya. Teori- teori tersebut lahir dari
pengalaman- pengalaman yang terjadi dalam kehidupan sehari- hari. Karena setiap
individu mengalami pengalaman yang berbeda maka teori yang muncul juga akan
berbeda pula antara satu individu dengan individu lainnya. Disimpulkan bahwa
tidak ada teori yang dapat menyeluruh membahas mengenai masalah sosial di
masyarakat.
Di zaman
modern ini, orang dengan berbagai aktivitas dan kepentingan silih berganti,
kadang dapat membuat seorang individu atau suatu kelompok mengalami disjungsi
atau persinggungan dengan individu atau kelompok yang lain yang akan
mengakibatkan konflik. Konflik yang berkepanjangan kadang dapat memperburuk
tatanan sosial masyarakat. Namun, konflik juga berperan positif dalam
memperkuat persatuan dan menghilangkan konflik intern dalam suatu kelompok.
Konflik dimanapun bentuknya merupakan sesuatu yang wajar terjadi. Konflik
senantiasa ada dalam setiap sistem sosial. Dapat dikatakan konflik merupakan
suatu ciri dari sistem sosial. Tanpa konflik suatu hubungan tidak akan hidup.
Sedangkan ketiadaan konflik dapat menadakan terjadinya penekanan masalah yang
suatu saat nanti akan timbul suatu ledakan yang benar- benar kacau. Untuk itu dibutuhkan
suatu teori yang dapat menekan bahkan memusnahkan konflik yang terjadi dalam
kehidupan bermasyarakat.
Diharapkan
dengan adanya makalah ini baik pembaca maupun pendengar suatu saat nanti dapat
mempergunakan makalah ini sebagai acuan untuk memahami dan menyelesaikan suatu
konflik baik yang dihadapi oleh kelompok maupun oleh individu itu sendiri.
Sehingga dapat menyikapi konflik itu sendiri secara bijak dan hati- hati.
BAB II
PEMBAHASAN
Sejara Teori
Konflik
Teori
konflik yang muncul pada abad ke sembilan belas dan dua puluh dapat dimengerti
sebagai respon dari lahirnya dual revolution, yaitu demokratisasi dan
industrialisasi, sehingga kemunculan sosiologi konflik modern, di Amerika
khususnya, merupakan pengikutan, atau akibat dari, realitas konflik dalam
masyarakat Amerika (Mc Quarrie, 1995: 65). Selain itu teori sosiologi konflik
adalah alternatif dari ketidakpuasaan terhadap analisis fungsionalisme
struktural Talcot Parsons dan Robert K. Merton, yang menilai masyarakat dengan
paham konsensus dan integralistiknya.Perspektif konflik dapat dilacak melalui
pemikiran tokoh-tokoh klasik seperti Karl Marx (1818-1883), Emile Durkheim
(1879-1912), Max Weber (1864-1920), sampai George Simmel (1858-1918).
Keempat
pemikiran ini memberi kontribusi sangat besar terhadap perkembangan analisis
konflik kontemporer. Satu pemikiran besar lainnya, yaitu Ibnu Khouldoun
sesungguhnya juga berkontribusi terhadap teori konflik. Teori konflik Kholdun
bahkan merupakan satu analisis komprehensif mengenai horisontal dan vertikal
konflik.Proposisi ini dipaparkan dalam rangka untuk memahami dinamika yang
terjadi di dalam masyarakat.
Dengan
adanya perbedaan kekuasaan dan sumber daya alam yang langka dapat membangkitkan
pertikaian (konflik) di masyarakat. Kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda
dalam system sosial akan saling mengajar tujuan yang berbeda dan saling
bertanding. Hal ini sesuai dengan pandangan Lock Wood, bahwa kekuatan–kekuatan
yang saling berlomba dalam mengejar kepentingannya akan melahirkan mekanisme
ketidakteraturan sosial (socialdisorder). Para teoritis konflik memandang suatu
masyarakat terikat bersama adalah kekuatan kelompok atau kelas yang dominant.
Para fungsionalis menganggap nilai-nilai bersama (consensus) sebagai suatu
ikatan pemersatu, sedangkan bagi teoritis konflik, konsensus itu merupakan
ciptaan dari kelompok atau kelas dominan untuk memaksakan,nilai-nila.
Teori
konflik merupakan sebuah pendekatan umum terhadap keseluruhan lahan sosiologi
dan merupakan toeri dalam paradigma fakta sosial. Mempunyai bermacam-macam
landasan seperti teori Marxian dan Simmel. Kontribusi pokok dari teori Marxian
adalah memberi jalan keluar terjadinya konflik pada kelas pekerja. Sedangkan
Simmel berpendapat bahwa kekuasaan otoritas atau pengaruh merupakan sifat
kepribadian individu yang bisa menyebabkan terjadinya konflik.
Ketegangan
hubungan produksi dalam sistem produksi kapitalis antara kelas borjuis dan
proletar mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi.
Ketegangan hubungan produksi terjadi ketika kelas proletar telah sadar akan
eksploitasi borjuis terhadap mereka. Sampai pada tahap ini Marx adalah seorang
yang sangat yakin terhadap perubahan sosial radikal, tetapi lepas dari moral
Marx, esensi akademiknya adalah realitas kekuasaan kelas terhadap kelas lain
yang lemah, konflik antar kelas karena adanya eksploitasi itu, dan suatu
perubahan sosial melalui perjuangan kelas, dialektika material, yang sarat
konflik dan determinisme ekonomi. Pemikiran ini nantinya sangat berpengaruh dan
berkembang sebagai aliran Marxis, neoMarxis, madzab Kritis Frankurt, dan
aliran-aliran konflik lainnya.
Tindakan
afektif individu didominasi oleh sisi emosional, dan tindakan tradisional
adalah tindakan pada suatu kebiasaan yang dijunjung tinggi, sebagai sistem
nilai yang diwariskan dan dipelihara bersama. Stratifikasi tidak hanya dibentuk
oleh ekonomi melainkan juga prestige (status), dan power (kekuasaan/politik).
Konflik muncul terutama dalam wilayah politik yang dalam kelompok sosial adalah
kelompok-kelompok kekuasaan, seperti partai politik.
Pokok
pikiran Durkheim adalah fakta sosial, Giddens merinci dua makna yang saling
berkaitan, dimana fakta-fakta sosial merupakan hal yang eksternal bagi
individu. Pertama-tama tiap orang dilahirkan dalam masyarakat yang terus
berkembang dan yang telah mempunyai suatu organisasi atau strutur yang pasti
serta yang mempengaruhi kepribadiannya. Kedua fakta-fakta sosial merupakan ‘hal
yang berada di luar’ bagi seseorang dalam arti bahwa setiap individu manapun,
hanyalah merupakan suatu unsur tunggal dari totalitas pola hubungan yang
membentuk masyarakat (Giddens, 1986: 108).
Perkembangan
ilmu sosial kemudian memperoleh kesempurnaannya setelah tradisi pemikiran Eropa
melahirkan determinisme ekonomi atau pertentangan kelas dari Marx, teori teori
tindakan dan stratifikasi sosial Weber, dan Fakta sosial dari Durkheim.
Teori konflik
Teori konflik ini sebenarnya
dibangun dalam rangka untuk menentang secara langsung terhadap teori
fungsionalisme struktural. Karenanya tidak mengherankan apabila proposisi yang
dikemukakan oleh penganutnya bertentangan dengan proposisi yang terdapat dalam
teori fungsionarisme struktural.
Teori ini mulai muncul dalam
sosiologi Amerika serikat pada tahun 1960-an yang merupakan kebangkitan kembali
berbagai gagasan yang diungkapkan sebelumnya oleh Karl Marx dan Max weber.
Kedua tokoh ini merupakan "teoritis konflik" tetapi teori mereka
berbeda satu sama lain, karena itu teori konflik modern pun terpecah menjadi
dua tipe utama, yaitu teori.konflik neo-Marxian dan teori konftik neo-weberian.
Versi neo_Marx_ ian lebih terkenal dan berpengeruh ketimbang versi
neo-Weberian.
Kedua teoretis konflik ini, Marx dan
weber, adalah penolakan terhadap gagasan bahwa masyarakat cenderung kepada
beberapa konsensus dasar atau harmoni, dimana struktur masyarakat bekerja untuk
kebaikan setiap orang. Para teoretisi konflik memandang konflik dan
pertentangan kepentingan dan concern dari berbagai individu dan kelompok yang
saling bertentangan sebagai determinan utama dalam pengorganisasian kehidupan
sosial. Dengan kata lain, struktur dasar masyarakat sangat ditentukan oleh
upaya-upaya yang dilakukan berbagai individu dan kelompok untuk mendapatkan
sumber daya yang terbatas yang akan memenuhi berbagai kebutuhan dan keinginan
mereka. Karena sumber-sumber daya ini dalam kadar tertentu selalu terbatas,
maka konflik untuk mendapatkannya selalu terjadi.
Marx dan weber menerapkan gagasan
umum ini dalam teori posilogi mereka dengan cara yang berbeda dan mereka
pandang menguntungkan.
Karl Marx (stephen K. sanderson,
1993: 12-13) berpendapat bahwa bentuk-bentuk konflik yang terstruktur antara
berbagai individu dan Kelompok muncul
terutama melalui terbentuknya hubungan-hubungan pribadi dalam produksi. sampai
pada titik tertentu dalam evolusi kehidupan sosial manusia, hubungan pribadi
dglam produksi mulai menggantikan pemilihan komunal atas kekuatan-kekuatan
produksi. Dengan demikian masyarakat terpecah menjadi kelompok-kelompok yang
memiliki dan mereka yang tidak memiliki kekuatan-kekuatan'prajutri menjadi
kelas sosial. Jadi kelas dominan menjalin hubungan dengan kelas-kelas yang
tersubordinasi dalam sebuah proses eksploitasi ekonomi. secara alamiah saja,
kelas-kelas yang tersubordinasi ini akan marah karena dieksploitasi dan terdorong
untuk memberontak dari kelas bahwa menciptakan aparat politik yang kuat -negara
yang mampu menekan pemberontakan tersebut dengan kekuatan.
Dengan demikian, teori Marx di atas
memandang eksistensi hubungan pribadi dalam produksi dan kelas-kelas sosial
sebagai elemen kunci dalam banyak masyarakat. la juga berpendapat bahwa
pertentangan antara kelas dominan dan kelas yang tersubordinasi memainkan
peranan sentral dalam menciptakan bentuk-bentuk penting perubahan sosial.
Sebenarnya sebagaimana yang ia kumandangkan, sejarah dari semua masyarakat yang
ada hingga kini adalah sejarah pertentangan-pertentangan kelas. Dalam hal ini
Stephen K. Sanderson (1993: '12), beberapa strategi konflik marxian-modern
adalah sebagai berikut:
1.
Kehidupan
sosial pada dasarnya merupakan arena konflik ataupertentangan di antara dan di
dalam kelompok-kelompok yangbertentangan.
2.
Sumber-sumber
daya ekonomi dan kekuasaan-kekuasaan politikmerupakan hal pentingt yang
berbagai kelompok berusaha merebutnya.
3.
Akibat tipikal
dari pertentangan ini ada-lah pembagian masyarakat menjadi kelompok yang
determinan secara ekonomi dan kelompok yang tersubordinasi.
4.
Pola-pola
sosial dasar suatu masyarakat sangat ditentukan oleh pengaruh sosial dari
kelompok yang secara ekonomi merupakan kelompok yang determinan.
5.
Konflik dan
pertentangan sosial di dalam dan di antara berbagai masyarakat melahirkan
kekuatan-kekuatan yang menggerakkan perubahan sosial.
6.
Karena
konflik dan pertentangan merupakan ciri dasar kehidupan sosial, maka perubahan
sosial, menjadi hal yang umum dan sering terjadi.
Berikutnya Stephen K. Sanderson
,"menjelaskan bahwa strategi konflik Marxian secara esensial lebih
merupakan strategi materialis ketimbang idealis. Hal ini tidak mengherankan karena
kenyataan menunjukkan bahwa Marx mengusulkan gagasan teoritis yang bersifat
materialis ketimbang idealis Materialistis dan konflik ini. Pada teoritis
konflik Marxian memandang konflik sosial muncul terutama karena adanya upaya
untuk memperoleh akses kepada kondisi-kondisi material yang menopang kehidupan
sosial; dan mereka melihat kedua fenomena ini sebagai determinan krusial bagi
pola-pola sosial dasar suatu mayarakat.
Sementara itu menurut R. Collins
(Stephen K' Sanderson' 1993: 13)
Dalam teorinya weber percaya bahwa
konflik terjadi dengan Cara yang jauh lebih dari sekedar kondisi-kondisi
material. Weber mengakui bahwa konflik dalam merebutkan sumber daya ekonomi
merupakan ciri dasar kehidupan sosial, tetapi ia berpendapat bahwa banyak
tipe-tipe konflik lain yang juga terjadi' Di antara berbagai tipe tersebut.
Weber menekankan dua tipe. Dia menganggap konflik dalam arena politik sebagai sesuatu yang sangat
fundamental. Baginya kehidupan sosial dalam kadar tertentu merupakan
pertentangan untuk memperoleh kekuasaan dan dominasi oleh sebagian individu dan
kelompok tertentu terhadap yang lain dan dia tidak menganggap pertentangan
untuk- memperoleh keuntungan ekonomi' Sebaliknya, Weber melihat dalam kadar
tertentu sebagai tuiuan pertentangan untuk memperoleh keuntungan ekonomi'
Sebaliknya Weber, melihat dalam
kadar tertentu sebagai tujuan pertentangan itu sendiri; ia berpendapat bahwa
pertentangan untuk memperoleh kekuasaan tidaklah terbatas hanya pada
organisasi-organtsasi politik formal, tetapi juga terjadi dalam setiap tipe
kelornpok seperti organisasi keagamaan dan
pendidikan' Tipe konflik kedua yang sering kali ditekan oleh weber
adalah konflik dalam hal gagasan dan cita-cita. ia berpendapat bahwa orang
seringkali tertantang untuk memperoleh dominasi dalam hal pandangan dunil
mereka' baik itu berupa doktrin keagamaan, filsafat sosial ataupun konsepsi
tentang bentuk gaya hidup cultural yang terbaik. Lebih dari itu, gagasan
cita-cita tersebut bukan hanya dipertentangkan; tetapi dijadikan senjata atau alat
dalam pertentangan lainnya misalnya pertentangan politik.
1.
Jika kita
urut perbedaan antara Marx Weber dan Karl Marx dalam hal menyangkut kemungkinan
untuk memecahkan konflik dasar dalam masyarakat masa depan, dengan teori mereka
di atas, maka terlihat sebagai berikut:
2.
Marx
berpendapat bahwa karena konflik pada dasarnya muncul dalam upaya memperoleh
akses terhadap kekuatan-kekuatan produksi, sekali kekuatan-kekuatan ini
dikembalikan kepada kontrol seluruh masyarakat, maka konflik dasar tersebut
akan dapat dihapuskan. Jadi sekali kapitalis digantikan dengan sosialisme, maka
kelas-kelas akan terhapuskan dan pertentangan kelas akan berhenti.
3.
Weber
memiliki pandangan yang jauh pesimistik. la percaya bahwa pertentangan
merupakan salah satu prinsip kehidupan sosial yang sangat kukuh dan tak dapat
dihilangkan. Dalam suatu tipe masyarakat masa depan, baik kapitalis, sosialis
atau tipe lainnya orang-orang akan tetap selalu bertarung memperebutkan
berbagai sumber daya. Karena itu Weber menduga bahwa pembagian atau pembelaan
sosial adalahciri permanen dari semua masyarakat yang sudah kompleks, walaupun
tentu saja akan mengambil bentuk-bentuk dan juga tingkat kekerasan yang secara
substansial sangat bervarisi.
Tokoh utama teori konflik ini
setelah era Karl Marx dan Marx Weber yang ternama adalah Ralp Dahrendorf di
samping Lewis A. Coser. Berbeda dari beberapa ahli sosiologi yang menegaskan
eksistensi dua perspektif yang berbeda yaitu teori kaum fungsional struktural versus
teori konflik, Coser mengemukakan komitmennya pada kemungkinan menyatukan
pendekatan tersebut.
Lewis A. Coser (Marga M. Poloma,
1992:103) mengakui beberapa susunan struktural merupakan hasil persetujuan dan
konsensus, yang menunjukkan pada proses lain yaitu konflik sosial. Dalam
membahas berbagai situasi konflik, Coser membedakan konflik yang realistis dari
yang Tidak realities. Konflik yang realities berasal dari kekecewaan
terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang
terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para
partisipan dan yang ditunjuk pada objek yang dianggap mengecewakan.
1.
Dalam hal
lain, Lewis A. Coser (Margaret M. poloma, 1992: 113-117) mengemukakan teori
konflik dengan membahas tentang, permusuhan dalam hubungan-hubungan sosial yang
intim, fungsionalistas konflik dan kondisi-kondisi yang memengaruhi konflik
dengan kelompok luar dan struktur kelompok sosial, sebagai berikut:
1.
Permusuhan
dalam hubungan sosial yang intim. Bila konflik berkembang dalam
hubungan-hubungan sosial yang intim, maka pemisahan antara konflik realitis dan
nonrealistis lebih sulit untuk dipertahankan. Karena semakin dekat suatu
hubungan, semakin besar rasa kasih sayang yang sudah tertanamkan makin besar
juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan.
Sedangkan pada hubungan-hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan
bisnis, rasa permusuhan relatif dapat lebih bebas diungkapkan.
2.
Fungsionalitas
konflik. Coser mengutip hasil pengamatan Georg simmel yang menunjukkan bahwa
konflik mungkin positif sebab dapat meredakan ketegangan yang terjadi dalam
suatu kelompok dengan memantapkan keutuhah dan keseimbangan. sebagai contoh
hasil pengamatan simmel terhadap masyarakat Yahudi, bahwa peningkatan konflik
dalam kelompok dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan dan ke
dalam masyarakat secara keseluruhan. Karena homogenitas mungkin penting bagi
kelangsungan suatu kelompok terisolir yang berarti konflik internal tidak ada,
hal ini dapat juga berarti kelemahan integrasi kelompok tersebut dengan
masyarakat secara keseluruhan.
3.
Kondisi-kondisi
yang memengaruhi konflik dengan kelompok luar dan struktur kelompok menurut
coser, konflik dengan kelompok ruar akan membantu memantapkan batas-batas
struktural. sebaliknya konflik dengan kelompok luar juga dapat mempertinggi
integrasi di dalam kelompok. Tingkat konsensus kelompok sebelum konflik terjadi
merupakan hubungan timbal-balik paling penting dalam konteks apakah konflik
dapat mempertinggi kohesi kelompok. Bilamana konsensus dasar suatu kelompok
lemah, maka ancaman dari luar menjurus bukan pada peningkatan kohesi, tetapi
pada agati umum dan akibatnya kelompok terancam oleh perpecahan.
Bila ditilik teori konflik dari Coser
di atas, terlihat bahwa teori yang ia kemukakan berbeda dengan analisis banyak
kaum fungsionalis, yang memandang bahwa konflik itu merupakan disfunggsional
bagi suatu kelompok. Sedangkan Coser memandang kondisi-kondisi di mana secara
positif, konflik membantu mempertahankan struktur sosial. Konflik sebagai
proses sosial dapat merupakan mekanisme lewat mana kelompok-kelompok dan
batas-batasnya berbentuk dan dipertahankan. Selanjutnya konflik dapat
menyatukan para anggota kelompok melalui pengukuhan kembali identitaskelompok.
Coser juga menyebutkan konflik itu merupakan sumber
kohesi atau perpecahan kelompok tergantung atas asal mula ketegangan, isu
tentang konflik, cara bagaimana ketegangan itu ditangani dan yang terpenting
tipe struktur dimana konflik itu berkembang. Berikutnya Coser, juga menyebutkan
bahwa terdapat perbedaan antara, konflik in group dan konflik out Group antara
nilai inti dengan masalah yang lebih bersifat pinggiran,.antara konflik yang
menghasilkan perubahan struktural lawan konflik yang disalurkan melalui
lembaga-lembaga savety value, yaitu salah.satu mekanisme khusus yang dapat
dipakai untuk mernpertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Begitu
pula antara konflik pada struktur jaringan longgar dan struktur berjaringan ketat:
juga Coser membedakan konflik realistis dengan non realistis.
Keseluruhan ini merupakan
faktor-faktor yang menentukan fungsi konflik sebagai suatu proses sosial. Teori
Coser dapat disebutkan lebih menggambarkan fungsionalisme konflik; perspektif
integrasi dan perseptif konflik bukan merupakan skema penjelasan yang saling
bersaing; keduanya adalah teori-teori parsial yang data atau peristiwanya
berhubungan dengan penjelasan teoritis yang menyeluruh. Konflik dan konsensus,
integrasi dan perpecahan adalah proses fundamental yang walau dalam porsi dan
campuran yang berbeda merupakan bagian dari setiap system sosial yang dapat
dimengerti. Ralf Dahrendorf seorang sosiolog Jerman, sebagai tokoh utama teori
konflik dan merupakan seorang pengkritik fungsionalisme struktural yang olehnya
dianggap gagal memahami masalah perubahan. Sebagai landasan teorinya tidak
menggunakan teori Simmel seperti Coser melainkan ia membangun teorinya dengan
separuh penolakan, separuh menerima serta memodifi kasi teori sosiologis Karl Marx.
Seperti Coser, Dahrendorf mula-mula
melihat teori konflik sebagai teori parsial, meng-gapteori itu merupakan
perspektif yang dapat digunakan
menganalisa fenomena sosial.
Dahrendorf meng-gap masyarakat bersisi ganda, memiliki sisi konflik dan sidikit
kerjasama, kemudian ia menyempurnakan posisi ini dengan menyatakan bahwa segala
sesuatu yang dapat dianalisis dengan fungsionalisme struktural, dapat pula
dianalisis dengan teori konflik dengan lebih baik.
Ralf Dahrendorf (Margaret M. Poloma,
1992 145) menggunakan teori perjuangan kelas Marxian untuk membangun teori
kelas dan pertentangan kelasnya dalam masyarakat industri kontemporer. Kelas
tidak berarti pemilikan sarana-sarana produksi seperti yang dilakukan oleh Marx
tetapi lebih merupakan pemilikan kekuasaan yang mencakup hak absah untuk
menguasai orang lain. Perjuangan kelas dalam masyarakat modern baik dalam
perekonomian kapitalis maupun komunis, dalam pemerintahan bebas dan totaliter
berada di seputar pengendalian kekuasaan. Dahrendorf melihat kelompok-kelompok
pertentangan sebagai kelompok yang lahir dari kepentingan-kepentingan bersama
para individu yang mampu berorganisasi. Proses ini ditempuh melalui perubahan
kelompok semua menjadi
kelo.mpok kepentingan yang mampu
memberi dampak pada struktur. Lembaga-lembaga yang terbentuk sebagai hasil dari
kepentingan-kepentingan itu dan kemudian merupakan jembatan di atas mana
perubahan sosial itu terjadi. Berbagai usaha harus diarahkan untuk mengatur
pertentangan sosial melalui institusionalisasi yang efektif dari pada melalui
penekanan pertentangan itu.
Berikutnya Dahrendorf mengemukakan
teori konfliknya melalui pembahasan tentang wewenang dan posisi yang merupakan
fakta sosial. Menurut Dahrendorf distribusi kekuasaan dan wewenang secara tidak
merata tanpa kecuali menjadi faktor yang menentukan konflik sosial secara
sistematis. Perbedaan wewenang adalah suatu tanda dari adanya berbagai posisi
dalam masyarakat. Perbedaan posisi serta perbedaan wewenang di antara individu
dalam mdsyarakat itulah yang harus menjadi perhatian utama para sosiolog.
Kekuasaan dan wewenang menurut
Dahrendorf (Ceorge Ritzer, 1985:31) senantiasa menempatkan individu pada posisi
atas dan posisi bawah dalam setiap struktur. Karena wewenang itu adalah sah,
maka setiap individu yang tidak tunduk terhadap wewenang yang ada akan terkena
sanksi. Dengan demikian masyarakat disebut oleh Dahrendorf sebagai persekutuan
yang terkoordinasi secara paksa. Kekuasaan itu selalu memisahkan dengan tegas
antara penguasa dan yang dikuasai maka dalam masyarakat selalu terdapat dua
golongan yang saling bertentangan. Masing-masing golongan dipersatukan oleh
ikatan kepentingan nyata yang bertentangan secara substansial dan secara
langsung di antara golongan-golongan itu. Pertentangan itu terjadi dalam
situasi dimana golongan yang berkuasa berusaha mempertahankan status quo
sedangkan golongan yang dikuasai berusaha untuk mengadakan perubahan-perubahan.
Pertentangan kepentingan ini selalu ada setiap waktu dan dalam setiap struktur.
Karena itu kekuasaan yang sah selalu berada dalam keadaan terancam bahaya dari
golongan yang anti status quo. Kepentingan yang terdapat dalam satu golongan
tertentu selalu dinilai objektif oleh golongan yang bersangkutan dan selalu
berdempetan dengan posisi individu yang termasuk ke dalam golongan itu. Seorang
individu akan bersikap dan bertindak sesuai dengan cara-cara yang berlaku dan
yang diharapkan oleh golongannya. Dalam situasi konflik seorang individu akan
menyesuaikan diri dengan peranan yang diharapkan oleh golongan itu yang oleh
Dahrendorf disebut sebagai peranan laten. la membedakan golongan yang terlihat
konflik itu atas duatipe yaitu kelompok semu (quasi group) dan kelompok
kepentingan (interest
group). Kelompok semu merupakan
kumpulan dari para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan yang sama
yang terbentuk karena munculnya kelompok kepentingan. sedangkan kelompok kedua
yakni kelompok kepentingan terbentuk dari kelompok semua yang lebih luas.
Kelompok kepentingan ini memiIiki
struktur, organisasi, program, tujuan serta anggota yang jelas. Kelompok
kepentingan ini yang menjadi sumber nyata timbulnya konflik dalam masyarakat;
kemudian terdapat mata rantai antara konflik dan perubahan sosial, konflik ini
memimpin ke arah perubahan dan pembangunan. Dalam situasi konflik golongan yang
terlihat melakukan tindakan-tindakan untuk mengadakan perubahan dalam struktur
sosial. Kalau konflik itu terjadi secara hebat maka perubahan yang timbul akan
bersifat radikal, begitu pula jika konflik itu disertai oleh penggunaan
kekerasan maka perubahan struktural akan lebih efektif.
Pandangan Dahrendorf (Margaret M.
Poloma, 1992: 134) tentang alasan teoretis utama mengapa revolusi ala Marxis
tidak terjadi, ini disebabkan karena pertentangan yang ada cenderung diatur
melalui institusionalisasi. Pengaturan atau institusionalisasi'terbukti dari ti
rnbuI nya serikat-serikat buruh yang telah memperlancar mobilitas sosial serta
mengatur konflik antara buruh dan manajemen. Melalui institusionalisasi
pertentangan tersebut, setiap masyarakat mampu mengatasi masalahmasalah baru
yang timbul. Dahrendorf menyatakan bahwa menyatakan institusionalisasi
pertentangan kelas bermula dari pengakuan bahwa buruh dan manajemen merupakan
kelompok-kelompok kepentingan yang sah. Organisasi mengisyaratkan keabsahan
kelompok-kelompok kepentingan dengan demikian menghilangkan ancaman perang
gerilya bersifat permanen dan tak dapat diperhitungkan. Pada saat yang sama hal
ini membuat pengaturan pertentangan secara sistematis dimungkinkan, organisasi
adalah institusionalisasi. Di dalam melancarkan kritik sosiologis terhadap
teori Karl Marx, Dahrendorf mendukung dan menolak beberapa pernyataan Marx.
Ada dasar baru bagi pembentukan
kelas, sebagai pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi Marx sebagai dasar
perbedaan kelas itu. Menurut Dahrendorf hubungan-hubungan kekuasaan yang
menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur-unsur bagi kelahiran kelas;
terdapat dikotomi antara mereka yang berkuasa dan yang dikuasai. Dengan kata
lain ada beberapa orang turut serta dalam struktur kekuasaan yang ada dalam
kelompok sedang yang lain tidak; beberapa orang turut sefta dalam struktur
kekuasaan yang ada dalam kelompok sedang yang lain tidak Perbedaan dalam
tingkat dominasi itu dapat dan selalu sangat besar.
Jika ditilik bahasan Dahrendorf di
atas terlihat bahwa bahasan teorinya tentang konflik itu lebih menekankan
kekuasaan daripada pemilikan sarana-sarana produksi; dalam masyarakat industri
modern pemilik sarana produksi tidak sepenting mereka yang melaksanakan pengendalian
atas sarana itu.
Kenyataan ini terlihat terulang
kembali pada pandangan toeri konfliknya berikut ini. Menurut Dahrendorf
(Margaret M. Poloma, 1992: 137) pertentangan kelas harus di Iihat sebagai
kelompok-kelompok pertentangan yang berasal dari struktur kekuasaan
asosiasi-asosiasi yang terkoordinir secara pasti. Kelompok-kelompok yang
bertentangan itu sekali mereka ditetapkan sebagai kelompok kepentingan, akan
terlibat dalam pertentangan yang niscaya akan menimbulkan perubahan struktur
sosial. Pertentangan antara buruh dan manajeman yang merupakan topic
permasalahan utama bagi Marx misalnya, akan terlembaga lewat serikatserikat
buruh. Pada gilirannya serikat buruh tersebut akan terlibat dalam pertentangan
yang mengakibatkan perubahan di bidang hukum serta ekonomi dan
perubahan-perubahan konkret dalam sistem pelapisan masyarakat. Timbulnya kelas
menengah baru, sebenarnya merupakan suatu perubahan struktural yang berasal
dari institusionlisasi pertentangan kelas.
Menurut Margaret M. Poloma (1992:
137-138) menyebutkan bahwa Dahrendorf menegaskan bahwa teori konfliknya
merupakan model pluralistis yang berbeda dengan model dua kelas yang sederhana
dari Karl Marx. Marx menggunakan seluruh masyarakat sebagai unit analisis,
dengan orang-orang yang mengendalikan sarana produksi lewat pemilikan sarana
tersebut atau orang yang tidak ikut dalam pemilikan yang demikian. Manusia
dibagi ke dalam kelompok yang punya, dan yang tidak. Dalam menggantikan
hubungan-hubungan kekayaan dengan hubungan kekuasaan sebagai inti dari teori
kelas, Dahrendorf menyatakan bahwa model dua kelas ini tidak dapat diterapkan
pada masyarakat secara keseluruhan terapi hanya pada asosiasi-asosiasi tertentu
yang ada dalam suatu masyarakat. Kekayaan, status ekonomi dan satus sosial,
walaupun bukan merupakan determinan pencerminan kelas tetapi dapat memengaruhi
intensitas pertentangan. Dalam hal ini Dahrendorf mengetengahkan proposinya
yaitu, "semakin rendah korelasi ekonomi lainnya, maka semakin rendah
intensitas pertentangan kelas dan sebaliknya. Dengan kata lain
kelompok-kelompok .
Kontras lainnya adalah bahwa kalau
penganut teori fungsionalisme struktural melihat anggota masyarakat terikat
secara informal oleh normanorma, nilai-nilai dan moralitas umum, maka teori
konflik menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanya disebabkan
karena adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang
berkuasa.
Sebenarnya antara teori
fungsionalisme struktural dengan teori konflik tidaklah bersifat saling
menolak, mereka adalah saling melengkapi. Sebenarnya, asal struktural konflik
sosial terletak pada relasi-relasi hierakis berupa kuasa atau wewenang yang
berlaku di dalam kelompokkelompok dan organisasi-organisasi sosial. Setiap
kesatuan itu menunjukkan pembagian yang sama yakni antara sejumlah orang yang
berada di dalam posisi memegang kuasa dan wewenang dengan sejumlah besar lain
yang berada di posisi bawahannya.
Mengenai penalaran teori konflik ini
dijelaskan oleh Karel J. Veeger (1992: 93-95) sebagai berikut:
1.
Kedudukan
orang dalam kelompok tidaklah sama, karena ada pihak yang bekuasa dan
berwenang, dan ada pula pihak yang tergantung.
2.
Perbedaan
dalam kedudukan menimbulkan kepentingan-kepentingan yang berbeda pula. Yang
satu hendak berhasil dalam kedudukannya yang tinggi, mempertahankannya, memakai
kesempatan-kesempatan khusus yang berkaitan dengan jabatannya, mengontrol arus
informasi, dan mampu membalas jasa-jasa dari mereka yang setia agar mereka
lebih setia. Pihak yang satu ini cenderung mengarah kepada konservatisme.
3.
Mula-mula
sebagian kepentingan-kepentingan yang berada itu tidak disadari dan karenanya
dapat disebut kepentingan tersembunyi (latent interests), yang tidak akan
meletuskan aksi.
4.
Konflik akan
berhasil membawa suatu perubahan dalam strutur relasirelasi sosial, jika
kondisi-kondisi tertentu telah terpenuhi yaitu:
Ø
Kondisi-kondisi yang menyangkut keorganisasian, seperti:
· komunikasi efektif, pengerahan dan
penempatan tenaga yang tepat.
· kesempatan dan kebebasan berasosiasi.
· tersedianya perintis (pendiri),
pemimpin, dan ideologi.
Ø
Kondisi-kondisi yang menyangkut konflik sendiri seperti:
· adanya mobilitas sosial, sehingga
individu-individu atau keluarga-keluarga secara realistis dapat mengharapkan
dan memperjuangan perubahan sosial.
· mekanisme/sarana-sarana efektif dalam
menangani dan mengatur konflik sosial.
Ø
Akhirnya ada kondisi-kondisi yang menentukan bentuk dan besarnya
perubahan structural.
Faktor Penyebab Konflik
Konflik yang terjadi pada manusia
bersumber pada berbagai macam sebab.Begitu beragamnya sumber konflik yang
terjadi antar manusia, sehingga sulituntuk dideskripsikan secara jelas dan
terperinci sumber dari konflik. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan
ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatuinteraksi. perbedaan-perbedaan
tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik,kepandaian, pengetahuan, adat
istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Sumberkonflik itu sangat beragam dan
kadang sifatnya tidak rasional. Pada umumnyapenyebab munculnya konflik
kepentingan sebagai:
a. Perbedaan pendapat
Suatu konflik yang terjadi karena
pebedaan pendapat dimana masing-masing pihak merasa dirinya benar, tidak ada
yang mau mengakui kesalahan, dan apabila perbedaan pendapat tersebut amat tajam
maka dapat menimbulkan rasa kurang enak, ketegangan dan sebagainya.
b. Salah paham
Salah paham merupakan salah satu hal
yang dapat menimbulkan konflik.Misalnya tindakan dari seseorang yang tujuan
sebenarnya baik tetapi diterima sebaliknya oleh individu yang lain
c. Ada pihak yang di Rugikan
salah satu pihak mungkin dianggap
merugikan yang lain atau masing-masing pihak merasa dirugikan pihak lain
sehingga seseorang yang dirugikan merasa kurang enak, kurang senang atau bahkan
membenci
d. Perasaan sensitif
Seseorang yang terlalu perasa
sehingga sering menyalah artikan tindakan orang lain. Contoh, mungkin tindakan
seseorang wajar, tetapi oleh pihak laindianggap merugikan.
Selain diatas faktor penyebab
konflik juga dapat disebabkan oleh:
a. Perbedaan individu
Perbedaan kepribadian antar individu
bisa menjadi faktor penyebab terjadinya konflik, biasanya perbedaan individu
yang menjadi sumber konflik adalah perbedaan pendirian dan perasaan..
b. Perbedaan latar belakang kebudayaan
Perbedaan latar belakang kebudayaan
sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Seseorang sedikit banyak akan
terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan
pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu
yang dapatmemicu konflik. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok
manusia memiliki perasaan,pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang
berbedaOleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang
ataukelompok memiliki kepentingan yang berbeda- beda.
c. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan
mendadak dalam masyarakat
Perubahan adalah sesuatu yang lazim
dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan
mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial.
Jenis-jenis Konflik
a. Konflik Pribadi
Konflik terjadi dalam diri seseorang
terhadap orang lain. Umumnya konflik pribadi diawali perasaan tidak suka
terhadap orang lain, yang pada akhirnya melahirkan perasaan benci yang
mendalam. Perasaan ini mendorongtersebut untuk memaki, menghina, bahkan
memusnahkan pihak lawan.
b. Konflik Rasial
Konfilk rasial umumnya terjadi di
suatu negara yang memiliki keragaman suku dan ras. Lantas, apa yang dimaksud
dengan ras? Ras merupakan pengelompokan manusia berdasarkan ciri-ciri
biologisnya, seperti bentuk muka,bentuk hidung, warna kulit, dan warna rambut.
c. Konflik Antarkelas Sosial
Terjadinya kelas-kelas di masyarakat
karena adanya sesuatu yang dihargai,seperti kekayaan, kehormatan, dan
kekuasaan. Kesemua itu menjadi dasarpenempatan seseorang dalam kelas-kelas
sosial, yaitu kelas sosial atas, menengah,dan bawah. Seseorang yang memiliki
kekayaan dan kekuasaan yang besar
menempati posisi atas, sedangkan
orang yang tidak memiliki kekayaan dan kekuasaan berada pada posisi bawah. Dari
setiap kelas mengandung hak dan kewajiban serta kepentingan yang berbeda-beda.
Jika perbedaan ini tidak dapat terjembatani, maka situasi kondisi tersebut
mampu memicu munculnya konflik rasial.
d. Konflik Politik Antargolongan dalam Satu
Masyarakat maupun antara Negara-Negara yang Berdaulat
Dunia perpolitikan pun tidak lepas
dari munculnya konflik sosial. Politik adalah cara bertindak dalam menghadapi
atau menangani suatu masalah. Konflik politik terjadi karena setiap golongan di
masyarakat melakukan politik yangberbeda-beda pada saat menghadapi suatu
masalah yang sama. Karena perbedaaninilah, maka peluang terjadinya konflik
antargolongan terbuka lebar.
e. Konflik Bersifat Internasional
Konflik internasional biasanya
terjadi karena perbedaan perbedaan kepentingan di mana menyangkut kedaulatan
negara yang saling berkonflik. Karena mencakup suatu negara, maka akibat
konflik ini dirasakan oleh seluruh rakyat dalam suatu negara.
Konflik dipandang destruktif dan
disfungsional bagi individu yang terlibatapabila:
1. Konflik terjadi dalam frekuensi yang
tinggi dan menyita sebagianbesar kesempatan individu untuk berinteraksi. Ini
menandakan bahwa problemtidak diselesaikan secara kuat. Sebaliknya, konflik
yang konstruktif terjadi dalamfrekuensi yang wajar dan masih memungkinkan
individu-individunya berinteraksisecara harmonis.
2. Konflik diekspresikan dalam bentuk agresi
seperti ancaman atau paksaan danterjadi pembesaran konflik baik pembesaran
masalah yang menjadi isu konflik maupun peningkatan jumlah individu yang
terlibat. Dalam konflik yangkonstruktif isu akan tetap terfokus dan
dirundingkan melalui proses pemecahanmasalah yang saling menguntungkan.
3. Konflik berakhir dengan terputusnya
interaksi antara pihak-pihak yang terlibat.Dalam konflik yang konstruktif,
kelangsungan hubungan antara pihak-pihak yangterlibat akan tetap terjaga.
Solusi Dalam Penyelesaian Konflik
Setelah mengetahui penyebab
terjadinya konflik, kini bisa dimulai untuk mencoba berbagai alternatif
teoretis untuk menyelesaikan konflik yang tejadi. Secara umum, untuk
menyelesaikan konflik dikenal beberapa istilah, yakni Di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Pertama, model penyelesaian berdasarkan
sumber konflik. Dalam model ini, untuk bisa penyelesaian konflik dituntut untuk
terlebih dahulu diketahui sumber-sumber konflik: apakah konflik data, relasi,
nilai, struktural, kepentingan dan lain sebagainya. Setelah diketahui
sumbernya, baru melangkah untuk menyelesaikan konflik. Setiap sumber masalah
tentunya memiliki jalan keluar masing-masing sehingga menurut model ini, tidak
ada cara penyelesaian konflik yang tunggal.
2. Kedua, model Boulding. Model Boulding
menawarkan metode mengakhiri konflik dengan tiga cara, yakni menghindar,
menaklukkan, dan mengakhiri konflik sesuai prosedur. Menghindari konflik adalah
menawarkan kemungkinan pilihan sebagai jawaban terbaik. Akan tetapi, harus
diperhatikan bahwa ini hanya bersifat sementara agar kedua pihak dapat memilih
jalan terbaik mengakhiri konflik. Menaklukkan adalah pengerahan semua kekuatan
untuk mengaplikasikan strategi perlawanan terhadap konflik. Mengakhiri konflik
melalui prosedur rekonsiliasi atau kompromi adalah metode umum yang terbaik dan
paling cepat mengakhiri konflik.
3. Ketiga, model pluralisme budaya. Model
pluralisme budaya, dapat membantu untuk melakukan resolusi konflik. Misalnya,
individu atau kelompok diajak memberikan reaksi tertentu terhadap pengaruh
lingkungan sosial dengan mengadopsi kebudayaan yang baru masuk. Inilah yang
kemudian disebut sebagai asimilasi budaya. Selain asimilasi, faktor yang bisa
membuat kita menyelesaikan konflik adalah akomodasi. Dalam proses akomodasi,
dua kelompok atau lebih yang mengalami konflik harus sepakat untuk menerima
perbedaan budaya, dan perubahan penerimaan itu harus melalui penyatuan
penciptaan kepentingan bersama.
4. Keempat, model intervensi pihak ketiga.
Dalam model ini ada beberapa bentuk, yakni coercion, arbitrasi, dan mediasi.
Coercion adalah model penyelesaian konflik dengan cara paksaan, di mana
masing-masing pihak dipaksa untuk mengakhiri konflik. Arbitrasi adalah
penyelesaian konflik dengan cara mengambil pihak ketiga untuk memutuskan
masalah yang terjadi, dan keputusan pihak ketiga harus dipatuhi oleh
masing-masing pihak. Sementara itu, mediasi berarti pihak ketiga hanya
berfungsi untuk menjembatani penyelesaian konflik yang terjadi dalam
masyarakat.
Keempat hal di atas hanyalah
sebagian dari berbagai model penyelesaian konflik yang ada. Masih banyak lagi
model-model penyelesaian konflik yang lain. Namun demikian, satu hal yang harus
diingat adalah setiap konflik memiliki kompleksitas yang berbeda-beda sehingga
tidak bisa mengambil salah satu model untuk langsung diterapkan begitu saja
untuk menyelesaikannya. Harus dipahami secara sungguh-sungguh kerumitan dan
kompleksitas konflik yang akan dicari jalan keluarnya. Budaya Lokal sebagai Sarana Resolusi Konflik
Selain model-model penyelesaian konflik yang sudah ada secara teoretis di atas,
harus diingat juga bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang memiliki
keragaman budaya. Setiap budaya memiliki kearifan-kearifan tersendiri dalam
menyikapi permasalahan hidup yang dihadapi, termasuk di dalamnya kearifan dalam
menyelesaikan konflik. Kearifan-kearifan seperti inilah yang sering disebut
sebagai kearifan lokal (local wisdom).
Sejalan dengan banyaknya konflik yang terjadi di Indonesia, bersamaan
itu muncul pula teori-teori tentang penyelesaian konflik yang berasal dari luar
dan dalam negeri sebagai bahan referensi pada berbagai diskusi, seminar dan
analis konflik. Namun demikian, penerapannya tidaklah mudah karena variabel
faktor-faktor lain sulit diprediksi. Konflik-konflik yang tengah berlangsung di
wilayah nusantara. Jika bisa dikelola dengan baik, konflik justru bisa
menghasilkan hal-hal yang positif. Misalnya, sebagai pemicu perubahan dalam
masyarakat, memperbarui kualitas keputusan, menciptakan inovasi dan
kreativitas, sebagai sarana evaluasi, dan lain sebagainya. Namun demikian,
tidak menutup kemungkinan bahwa jika konflik tidak dikelola dengan baik dan
benar, maka akan menimbulkan dampak negatif dan merugikan bagi masyarakat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
v
kemunculan sosiologi konflik modern, di Amerika khususnya, merupakan
pengikutan, atau akibat dari, realitas konflik dalam masyarakat Amerika Selain
itu teori sosiologi konflik adalah alternatif dari ketidakpuasaan terhadap analisis
fungsionalisme struktural Talcot Parsons dan Robert K. Merton, yang menilai
masyarakat dengan paham konsensus dan integralistiknya.Perspektif konflik dapat
dilacak melalui pemikiran tokoh-tokoh klasik seperti Karl Marx, Emile Durkheim,
Max Weber, sampai George Simmel.
v
Tokoh utama teori konflik setelah era Karl Marx dan Marx Weber yang
ternama adalah Ralp Dahrendorf di samping Lewis A. Coser. Berbeda dari beberapa
ahli sosiologi yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda yaitu
teori kaum fungsional struktural versus teori konflik, Coser mengemukakan
komitmennya pada kemungkinan menyatukan pendekatan tersebut.
v
teori fungsionalisme struktural dengan teori konflik tidaklah bersifat
saling menolak, mereka adalah saling melengkapi. Sosiolog yang baik adalah
memadukan kedua pendekatan ini untuk menelaah kehidupan sosial; dengan
berbuat.demikian ia akan memperoleh suatu gambaran yang lebih lengkap tentang
kondisi suatu masyarakat. Sebenarnya, asal struktural konflik sosial terletak
pada relasi-relasi hierakis berupa kuasa atau wewenang yang berlaku di dalam
kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi sosial.
v
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu
dalam suatuinteraksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah
menyangkut ciri fisik,kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan
lain sebagainya
· Perasaan sensitif
· Perbedaan pendapat
· Salah paham
· Ada pihak yang di rugikan.
v
Konflik tidak selamanya berakibat negatif bagi masyarakat. Jika bisa
dikelola dengan baik, konflik justru bisa menghasilkan hal-hal yang positif.
Misalnya, sebagai pemicu perubahan dalam masyarakat, memperbarui kualitas
keputusan, menciptakan inovasi dan kreativitas, sebagai sarana evaluasi, dan
lain sebagainya. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa jika konflik
tidak dikelola dengan baik dan benar, maka akan menimbulkan dampak negatif dan
merugikan bagi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. C. Dewi Wulansari, SH.,
SE., MM. Sosiologi dan Konsep Teori. PT Refika Aditama. 2009
http://nikmatulaini.blogspot.com/2011/06/sejarah-struktural-konflik.html
http://andrie07.wordpress.com/2009/11/25/faktor-penyebab-konflik-dan-strategi-penyelesaian-konflik/
http://www.scribd.com/doc/83919778/Teori-Konflik-Makalah-Jadi-Betty
http://zempat.blogspot.com/2013/01/makalah-sosiologi-tentang-teori-konflik-by-fhawzhand.html
0 komentar:
Posting Komentar