PERSPEKTIF /TEORI UTAMA DALAM
SOSIOLOGI
Untuk menelaah sesuatu kita harus
mulai dengan membuat beberapa asumsi tentang sifat-sifat yang akan kita
pelajari. Misalnya menurut orang-orang Yunani Kuno alam semesta
beroperasi/berjalan sesuai dengan perilaku para dewa. Sebaliknya para ilmuwan
berasumsi bahwa alam semesta bersifat tertib dan berjalan menurut cara-cara
yang teratur. Oleh karena itu Newton mengembangkan hukum gaya berat setelah mengamati
bahwa apel selalu jatuh ke bawah, tidak pernah ke atas. Seperangkat asumsi
kerja disebut suatu “perspektif” atau “suatu pendekatan” atau teori.
Perspektif-perspektif apa yang dipakai dalam sosiologi ?
3.1. Perspektif Teori Evolusi
Perspektif teori evolusi
merupakan perspektif teoritis yang paling awal dalam sosiologi. Perspkektif
evolusi pada umumnya dihubungkan dengan konsep biologi dan memusatkan
perhatiannya pada perubahan-perubahan jangka panjang. Perspektif teori evolusi
melihat masyarakat, seperti organisme hidup, mengalami perkembangan melalui
tahap-tahap menuju suatu kondisi yang kompleks.
Banyak para ahli sosiologi pada
awal perkembangan ilmu ini dan juga sesudahnya, menggunakan perspketif teori
evolusi dalam memahami masyarakat. Para ahli sosiologi seperti Auguste Comte
dan Herbert Spencer serta beberapa ahli lain pada awal perkembangan sosiologi,
menggunakan perspektif ini dalam melihat masyarakat, yang melihat evolusi sama
dengan perkembangan dan langkah menuju kondisi yang lebih baik. Para ahli ini
meyakini bahwa seleksi alam akan dengan sendirinya menggeser untuk kemudian
merusak masyarakat yang lemah karena tidak mampu beradaptasi, dan sebaliknya,
suatu masyarakat yang kuat akan tetap hidup karena mampu melakukan adaptasi.
Masyarakat yang kuat akan tetap lestari karena masyarakat yang demikian lebih
baik dari pada masyarakat yang lemah. Ini menjadi alasan bagi para ahli
sosiologi dari perspektif ini seperti Spencer untuk menolak adanya campur
tangan untuk melindungi masyarakat yang lemah maupun menolak untuk mempengaruhi
proses evolusi yang berlangsung secara alamiah.
Dalam beberapa dasawarsa
perspektif ini kurang mendapat perhatian, namun akhir-akhir ini perspektif
evolusi ini kembali berperan. Para ahli sosiologi penganut evolusi dewasa ini
pada umumnya berpandangan bahwa evolusi merupakan proses yang menghasilkan
suatu perubahan, tetapi mereka tidak beranggapan bahwa perubahan itu akan
menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Meskipun mereka bersepakat bahwa
masyarakat senantaiasa berkembang menjadi lebih kompleks, tetapi mereka tidak
menyatakan bahwa kompleksitas suatu masyarakat yang tinggi akan menghasilkan
sesuatu yang baik, atau sebaliknya menghasilkan sesuatu yang buruk.
Misalnya masuknya telepon dalam
suatu masyarakat dapat dipandang sebagai suatu bentuk teknologi yang maju dan
membuat masyarakat kian kompleks. Hadirnya kotak ajaib (televisi) dapat
dipandang sebagai hal yang baik, misalnya dengan mudah orang dapat mengetahui
informasi atau berita dari tempat yang dengan cepat dan dapat pula menyaksikan
gambar, tetapi televisi dapat juga dipandang sebagai gangguan, misalnya bisa
mengganggu konsentrasi dalam bekerja atau belajar atau membuat malas anak-anak
untuk belajar.
Dalam pandangan penganut evolusi
terdahulu televisi akan dilihat sebagai sesuatu hal yang baik dari kemajuan
masyarakat tanpa melihat sisi buruknya.
Penganut teori evolusi masa kini
pada umumnya memusatkan perhatiannya pada upaya mencari pola-pola perubahan dan
perkembangan yang muncul dalam masyarakat yang berbeda, untuk mencari urutan
umum yang dapat ditemukan. Dengan demikian perspektif evolusi ini masih
merupakan perspektif yang cukup populer, meskipun perspektif ini bukan
perspektif utama dalam perkembangan sosiologi.
3.2. Perspektif Teori Struktural
Fungsional
Perspektif teori struktural
fungsional memiliki akar pada pemikiran Emile Durkheim dan Max Weber, dua ahli
sosiologi klasik yang terkenal. Sedangkan dalam perkembangan kemudian,
perspektif ini juga dipengaruhi oleh karya Talcott Parson dan Robert Merton,
dua ahli sosiologi kontemporer yang terkenal pada masa kini. Perspektif teori
strukturakl fungsional dipandang sebagai perspektif teori yang sangat dominan
dalam perkembangan sosiologi dewasa ini. Seringkali, perspektif ini disamakan
dalam teori sistem, teori ekuilibrium.
Konsep yang penting dalam
perspketif ini adalah struktur dan fungsi, yang menunjuk pada dua atau lebih
bagian atau komponen yang berbeda dan terpisah tetapi berhubungan satu sama
lain. Struktur seringkali dianalogikan dengan organ atau bagian-bagian anggota
badan manusia, sedangkan fungsi menunjuk bagaimana bagian-bagian ini
berhubungan dan bergerak. Misalnya perut adalah struktur, sedangkan pencernaan
adalah fungsi. Contoh lain, organisasi angkatan bersenjata adalah struktur,
sedangkan menjaga negara dari serangan musuh adalah fungsi. Struktur tersusun
atas beberapa bagian yang saling berhubungan dan saling bergantung satu sama
lain.
Struktur sosial terdiri dari
berbagai komponen dari masyarakat, seperti kelompok-kelompok,
keluarga-keluarga, masyarakat setempat/lokal dan sebagainya. Kunci untuk
memahami konsep struktur adalah konsep status (posisi yang ditentukans secara
sosial, yang diperoleh baik karena kelahiran (ascribed status maupun karena
usaha (achieved status) seseorang dalam masyarakat). Jaringan dari status
sosial dalam masyarakat merupakan sistem sosial, misalnya jaringan staus
ayah-ibu-anak menghasilkan keluarga sebagai sistem sosial, jaringan
pelajar-guru-kepala sekolah-pegawai tata usaha menghasilkan sekolah sebagai
sistem sosial, dan sebagainya. Setiap status memiliki aspek dinamis yang
disebut dengan peran (role) tertentu, misalnya seorang yang berstatus ayah
memiliki peran yang berbeda dengan seseorang yang berstatus anak.
Sistem sosial mengembangkan suatu
fungsi tertentu yang dengan fungsi itu memungkinkan masyarakat dan bagi
orang-orang yang menjadi anggota masyarakat untuk eksis. Masing-masing
menjalankan suatu fungsi yang berguna untuk memelihara dan menstabilkan
masyarakat sebagai suatu sistem sosial. Misalnya lembaga pendidikan berfungsi
mengajarkan pengetahuan atau ketrampilan, lembaga agama berfungsi memenuhi
kebutuhan rohaniah, keluarga berfungsi untuk sosialisasi anak dan sebagainya.
Para penganut struktural fungsional mengasumsikan bahwa sistem senantiasa
cenderung dalam keadaan keseimbangan atau equilibrium. Suatu sistem yang gagal
dari salah satu bagian dari sistem itu mempengaruhi dan membawa akibat bagi
bagian-bagian lain yang saling berhubungan satu sama lin.
Setiap sistem sosial pada
dasarnya memiliki dua fungsi utama, yaitu : (1) apa yang dapat dilakukan oleh
sistem itu dan (2) konsekuensi-konsekuensi yang berkaitan dengan apa yang dapat
dilakukan oleh sistem itu (fungsi lanjutan). Misalnya mata, fungsinya adalah
melihat sesuatu dalam lingkungan. Fungsi lanjutan dari mata adalah dengan mata
orang dapat belajar, bekerja dan juga dapat melihat datangnya bahaya. Dalam
masyarakat, lembaga pemerintahan memiliki fungsi utama menegakkan peraturan,
sedangkan fungsi lanjutannya adalah menggerakkan roda perekonomian, menarik pajak,
menyediakan berbagai fasilitas sosial dan sebagainya.
Menurut pandangan Robert Merton
salah satu tokoh perspektif ini, suatu sistem sosial dapat memiliki dua fungsi
yaitu fungsi manifest, yaitu fungsi yang diharapkan dan diakui, serta fungsi
laten, yaitu fungsi yang tidak diharapkan dan tidak diakui. Lembaga pendidikan
sekolah taman kanak-kanak misalnya memiliki fungsi manifes untuk memberikan
dasar-dasar pendidikan bagi anak sebelum ke jenjang sekolah dasar. Fungsi
latennya, memberi pekerjaan bagi guru TK, membantu orang tua mengasuh anak
selagi orang tuanya bekerja dan sebagainya.
Dalam pandangan Robert Merton,
tidak semua hal dalam sistem selalu fungsional, artinya tidak semua hal selalu
memelihara kelangsungan sistem. Beberapa hal telah menyebabkan terjadinya
ketidakstabilan dalam sistem, bahkan dapat saja menyebabkan rusaknya sistem.
Ini oleh Merton disebut dengan disfungsi. Misalnya tingkat interaksi yang
tinggi dan kaku dalam keluarga dapat menghasilkan disfungsi, antara lain dalam
bentuk kekerasan dan perlakuan kasar atau penyiksaan pada anak.
Para penganut perspektif
struktural fungsional ini berusaha untuk mengetahui bagian-bagian atau
komponen-komponen dari suatu sistem dan berusaha memahami bagaimana
bagian-bagian ini saling berhubungan satu sama lain suatu susunan dari
bagian-bagian tersebut dengan melihat fungsi manifes maupun fungsi latennya.
Kemudian mereka melakukan analisis mengenai manakah yang memberiu sumbangan
bagi terciptanya kelestarian sistem dan manakah yang justru menyebabkan kerusakan
pada sistem. Dalam hal ini dapat saja suatu komponen menjadi fungsional dalam
suatu sistem, tetapi menjadi tidak fungsional bagi sistem yang lain. Misalnya
ketaatan pada suatu agama merupakan sesuatu yang fungsional dalam pembinaan
umat beragama, tetapi tidak fungsional bagi pengembangan persatuan berbagai
etnik yang beragam agamanya.
Dalam pandangan perspektif
struktural fungsional ini, suatu sistem sosial eksis karena sistem sosial itu
menjalankan fungsinya yang berguna bagi masyarakat. Pusat perhatian perspektif
ini juga tertuju pada masalah tatanan (order) dan stabilitas, yang karena
perhatiannya pada hal ini mereka dikritik mempertahankan status-quo. Karena
perhatiannya tertuju pada keseimbangan dan kelsetarian sistem, perspektif ini
juga sering dikritik mengabaikan proses perubahan yang terjadi dalam sistem
sosial.
3.3. Perspkektif Teori Konflik
Perspektif teori konflik juga
memiliki akar pemikiraan pada pemikiran beberapa ahli sosiologi klasik terutama
pada Karl Marx. Meskipun demikian, para ahli dari perspektif teori konflik
modern juga banyak memberi sumbangan pemikiran, terutama dari John Stuart Mill,
Ralph Dahrendorf, Lewis Coser dan sebagainya. Dalam pandangan para ahli dari
perspektif teori konflik ini masyarakat akan dapat dengan tepat dianalisis jika
menggunakan konsep kekuasaan (power) dan konflik.
Karl Marx memulainya dengan suatu
asumsi dasar yang sederhana, yaitu struktur dari masyarakat ditentukan oleh
organisasi ekonomi, terutama pada pemilikan barang produksi (ownership of
poverty). Dogma agama, nilai-nilai budaya, kepercayaan individual, susunan dan
struktur lembaga-lembaga dalam masyarakat, semuanya secara mendasar merupakan
refleksi dari organisasi ekonomi yang ada dalam masyarakat. Menyatu dalam
sistem ekonomi, kesenjangan dalam pemilikan barang produksi telah mendorong
mendorong terjadinya konflik antar kelas secara revolusioner. Kelas yang tidak
menguasai alat produksi telah menjadi kelas yang dieksploitasi, senantaiasa
berjuang memperbaiki posisi mereka yang rendah dan tertindas dan secara
revolusi mereka melawan kelas yang dominan dalam penguasaaan faktor produksi.
Dalam pandangan Marx, cerita sejarah tentang manusia tidak lain adalah cerita
tentang perjuangan kelas antara para pemilik alat produksi dengan para buruh
yang tidak menguasai alat produksi, antara yang didominasi melawan yang
mendiminasi atau antara yang memiliki kekuasaan dengan yang tidak memiliki
kekuasaan.
Para ahli perspektif teori
konflik masa kini melihat bahwa konflik merupakan fenomena yang senantiasa ada
dalam kehidupan sosial dan sebagai hasilnya, masyarakat senantiasa berada dalam
perubahan yang terus menerus. Berbeda dengan Marx, para ahli sosiologi
perspektif konflik masa kini jarang yang melihat konflik senantaiasa merupakan
refleksi dari organisasi ekonomi maupun kepemilikan (ownership). Konflik dalam
pandaangan para ahli perspektif konflik masa kini , meliputi bidang yang luas
di mana terjadi pertentangan dari berbagai kepentingan dan kelompok dalam
masyarakat. Jadi konflik bukan hanya antara pemilik modal dengan para buruh
seperti dikemukakan oleh Marx, tetapi juga meliputi pertentangan antara orang muda
dengan orang tua, antara pria dan wanita, antara satu etnis atau ras tertentu
dengan etnis atau ras tertentu sebagaimana antara pemilik modal dengan para
buruh. Konflik ini disebabkan karena sesuatu yang dihargai dalam masyarakat
(kekuasaan, ilmu pengetahuan, tanah, uang dan sebagainya) tidak terdistribusi
merata dan tidak semua orang dapat memperolehnya secara sama. Sesuatu yang
bernilai itu merupakan komoditas yang terbatas, sedangkan permintaan (demand)
akan hal itu lebih besar dari penawaran (supply) yang ada dalam masyarakat.
Oleh sebab itu barang siapa dapat memiliki atau mengontrol barang dan jasa yang
bernilai dalam masyarakat, akan cenderung mempertahankan dan melindungi
kepentingannyaa terhadap usaha pihak lain untuk merebutnya.
Dalam pandangan yang demikian,
konflik tidak selalu berarti perang, kekerasan dan sejenisnya. Konflik menunjuk
pada perjuangan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang dilakukan setiap
anggota masyarakat untuk berusaha mempertahankan, meningkatkan dan menjaga
posisi sosial mereka dalam kehidupan sehari-hari. Konflik juga tidak dilihat
sebagai proses yang destruktif (merusak) yang akan embawa paada kondisi
ketidak-terauran (disorder) dan pecahnya masyarakat. Beberapa ahli perspektif
teori konflik modern misalnya Dahrendorf dan Lewis Coser bahkan melihat adanya
peranan konflik dalam menciptakan integrasi, yang ditandai oleh adanya kekuatan
yang menyumbang terjadinya keteraturan dan stabilitas. Bagaimana konflik
memeiliki peran integratif dapat dipahami dengan melihat bahwa semua orang
memiliki kepentingan yang sama akan bekerja sama untuk berusaha mencapainya
agar keuntungan dapat diraih bersama. Konflik antar ras misalnyaa dapat menjadi
pengikat kebrsamaan dalam suatu ras tertentu, mengabaikan perbedaan-perbedaan
diantara mereka sendiri.
Teori ini berbeda dengan dari
struktural fungsional. Jika teori struktural fungsional melihat masyarakat
sebagai suatu sistem yang senantiasa dalam keadaan ekulibrium atau kesimbangan,
teeori konflik sebaliknya, melihat masyarakat sebagai arena bagi terjadinya
pertentangan yang terus menerus dan terjadi perubahan-perubahan. Teori
struktural fungsional melihat proses sosial merupakan proses yang terus menerus
dengan mengembangkan keselarasan (harmony), sebaliknya teori konflik melihat
proses sosial sebagi proses perjuangan yang terus menerus menuju sasarannya.
Teeori struktural fungsional melihat masyarakat pada adsarnya berlandaskan pada
konsensus, terintegrasi dan statis, di lain pihak teori konflik melihat
masyarakat itu pada dasarnya ditandai oleh adanya paksaan, pertentangan dan
perubahan yang terus menerus. Jika teori struktural fungsional dikritik karena
terlalu menekankan pada stabilitas dan status quo serta mengabaikan perubahan,
sebaliknya teori konflik dikritik karena terlalu kontroversial dan terlalu
berlebihan dalam melihat keteraturan atas dasar paksaan.
3.4. Perspektif Teori
Interaksionisme Simbolik
Tokoh utama perspketif ini
diabngun oleh George Herbert Mead, William Issac Thomas, dan John Dewey, TH.
Cooley. Perbedaan utama perspektif ini dengan perspektif terdahulu terletak
pada ukuran dari unit yang dipakai dalam analisis dan penelitian. Jika teori
evolusi, struktural fungsional, maupun konflik terletak pada ukuran dari unit
yang dipakai dalam analisis dan penelitian. Jika teori evolusi, strukturaal
fungsional maupun konflik berada pada tataran sosiologi makro, yang melihat
masyarakat sebagai suatu susunan yang besar : organisasinya,
lembaga-lembaganya, kelas-kelas sosial dans ebagainya, maka perspektif teori
interaksionisme simbolik berada pada tataran mikro sosiologi, yang mremusatkan
perhatiannya pada individu dalam masyarakat dan definisi situasi, makna, peran,
pola interaksi yang dibuat individu. Meski antar berbagai perspektif kedua
tataran ini kadang terjadi tumpang tindih (overlap), tetpai padaadsarnya
terdapat perbedaan asumsi dan teori yang mendasar diantara keduanya.
Bagi perspektif interaksionisme
simbolik yang penting bagi sosiologi adalah memahami bagaimana individu
mempengaruhi dan sebaliknya mempengaruhi juga dipengaruhi oleh masyarakat.
Perspektif ini berasumsi bahwa masyarakat itu terdiri dari individu-individu
yang telah mengalami proses sosialisasi dan eksistensi serta strukturnya nampak
dan terbentuk melalui interaksi sosial yang berlangsung diantara individu dalam
masyarakat tersebut dalam tingkatan simbolik
Dalam perspektif ini sesuatu yang
penting pada penggunaan simbol. Untuk memperjelas makna simbol dapat dijelaskan
dengan contoh, misalnya seseorang yang mengendarai mobil di perempatan yang ada
lampu pengatur lalu lintas yang menyala adalah MERAH, maka iapun berhenti,
padahal yang ada di hadapannya bukanlah obyek fisik yang dapat menghalanginya.
Berhentinya seseorang di lampu merah jelas karena ia telah belajar, telah tahu
bahwa lampu merah adalah pertanda atau simbol bahwa ia harus berhenti. Contoh
lain adalah, seorang laki-laki yang mengulurkan tangannya merupakan tanda
bersahabat, akan tetapi kalau ia mengepalkan tangannya tentu bermakna
sebaliknya. Dalam kehidupan yang nyata kegagalan merumuskan situasi perilaku
secara benar dapat menimbulkan akibat-akibat yang kurang menyenangkan atau
malah bisa berakibat fatal.
Sebagaimana dituangkapkan oleh
Peter L. Berger dan Thomas Luckman dalam buku mereka Social Construction of
Reality (1966) yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia Tafsir Sosial Atas
Kenyataan (1990). Masyarakat merupakan kenyataan obyektif dalam arti orang,
kelompok, dan lembaga-lembaga adalah nyata. Akan tetapi, masyarakat adalah juga
suatu kenyataan subyektif dalam arti bagi setiap orang, atau lembaga-lembaga
lain tergantung pada pandangan subyektif orang tersebut. Apakah sebagain orang
sangat baik atau jahat, apakah polisi pelindung atau penindas masyarakat,
apakah perusahaan swasta melayani kepentingan umum atau pribadi-ini adalah
persepsi yang mereka bentuk dari pengalaman-pengalaman mereka sendiri dan
persepsi ini merupakan “kenyataan” bagi mereka yang memberikan penilaian
tersebut. Dalam hal ini perspektif interaksionisme simbolik memulainya dengan
konsep diri (self), diri dalam hubungannya dengan orang lain dan diri dan orang
lain itu dalam konteks sosial yang lebih luas. Dalam konteks sosial inilah
dapat dipahami mengapa seseorang memiliki anggapan negatif terhadap lainnya,
mengapa lebih mudah bergaul dengan seseorang dari pada lainnya maupun mengapa
lebih enak berada diantara orang-orang yang sudah dikenal dari pada diantara
orang-orang yang belum dikenal. Jadi dalam hal ini perspektif interasionisme
simbolik memahami individu dalam konteks sosialnya, melalui pemahaman
lingkungan sosial (social setting), dari sinilah kemudian dapat dipahami
interaksinya, nilai-nilainya, misalnya pantas-tidak pantas, baik-buruk dan
sebagainya.
3.5. Perspektif Teori Pertukaran
Perspektif teori pertukaran pada
dasarnya memiliki akar pemikiran yang beerbeda dari perspektif yang lain, di
mana perspektif ini bersumber dari pemikiran ekonomi, antropologi, psikologi,
maupun sosiologi. Perspektif ini berdasarkan pada anggapan bahwa kehidupan pada
dasarnya adalah serangkaian pertukaran yang di dalamnya terdapat keuntungan dan
kerugian. Dalam lapangan ekonomi, orang saling mempertukarkn uang, barang, jasa
untuk mendapatkan keuntungan, setidaknya tidak mengalami kerugian dalam
pertukaran itu. Secara antropologis, psikologis maupun sosiologis, hal yang
dipertukarkan meliputi pula baik faktor fisik maupun faktor sosial. Misalnya
agar dapat mempererat persahabatan, orang mengundang orang lain makan malam dan
sebagainya. Pekerjaan, pemberian, gagasan, uang, perhatian adalah sesuatu yang
dimiliki orang untuk dipertukarkan dengan orang lain.
Teori pertukaran sosial berupaya
memhami mengapa suatu tingkah laku terjadi dalam suatu situasi struktural
tertentu dan dalam situasi dimana kemungkinan untuk berinteraksi terjadi.
Misalnya mengapa perempuan cenderung menikah dengan laki-laki dengan status
sosial yang lebih tinggi, bukan sebaliknya laki-laki dengan status sosial yang
rendah dengan perempuan berstatus sosial lebih tinggi. Perspektif teori
pertukaran berupaya memahami hal ini dengan melihat kualitas yang diinginkan
oleh laki-laki dan oleh perempuan yang dapat saling dipertukarkan. Dalam suatu
masyarakat, mungkin pekerjaan yang baik dan memiliki kekayaan melimpah
merupakan hal yang diinginkan oleh perempuan dari seorang laki-laki, sedangkan
bagi laki-laki barangkali kecantikan dan kondisi fisik yang sempurna yang
diinginkan. Jadi dalam situasi sosial yang demikian dapat dipahami mengapa
perempuan yang cantik dari status sosial yang rendah akan “mempertukarkan”
“kecantikan” yang dimilikinya itu dengan “harta” dan “masa depan” yang dimiliki
oleh laki-laki dari staatus sosial ekonomi lebih tinggi, demikian pula
sebaliknya bagi laki-laki, mungkin baginya akan membanggakan dirinya
menggandeng istri yang cantik.
Perspektif teori pertukaran ini
berasumsi bahwa orang selalu berupaya mendapatkan status, berusaha mendapatkan
ganjaran (reward), menjalin hubungan yang lebih baik dan berupaya untuk
menghindari atau mengurangi seminimal mungkin biaya atau kerugian, hukuman
uyang diperolehnya. Menghadapi serangkain alternatif yang ada, setiap orang
akan memilih pilihan yang memberi keuntungan terbesar, ganjaran terbesar,
keamanan tertinggi dan pada saay yang sama menghindari resiko, mengurangi
kerugian dan menghindari hal yang tidak aman. Jika kerugian lebih besra dari
perolehan maka orang akan merasa tidak suka, marah, dan tidak nyaman,
sebaliknyaaaaaa jika perolehan lebih besar dari kerugian maka akan merasa enak,
nyaman, dan suka. Agar pihak-pihak dalam pertukaran itu sama-sama merasakan
keuntungan, maka interaksi sosial harus dilakukan dalam mewujudkan pertukaran
yang seimbang, yaitu suatu perasaan bahwa masing-masing mendapatkan sesuatu
yang lebih besar dari kerugiannya.
Terdapat dua aliran dalam
perspektif teori pertukaran ini. Aliran yang pertama adalah aliran dengan
tokohnya George Homans. Homans merupakan salah satu ahli yang mewakili aliran
teori pertukaran yang bersifat psikologis (behavioral psichology), yang melihat
perilaku dapat dijelaskan dalam kaitannya dengan ganjaran dan hukuman. Aliran
teori ini memusatkan perhatiannya pada perilaku yang terjadi (actual behavior),
bukan pada proses yang dapat dilacak dari perilaku yang terjadi itu, karena
proses itu tidaklah dapat diamati. Dalam pertukaran sosial, ganjaran dan
hukuman pada dasarnya adalah perilaku pihak lain.
Aliran pemikiran yang lain dengan
tokohnya Peter M. Blau, yang secara konsisten mengikuti prisnsip teeori
interkasionisme simbolik. Blau tidak menekankan untuk melakukan penjelasan atas
semua pertukaran yang nampak dari perilaku yang dapat diamati. Dalam pandangan
Blau, pertukaran itu lebih bersifat subyektif dan interpretatif, sehingga
pertukaran pada dasarnya berada pada tingkatan simbolik. Sebagai hasilnya dalam
pandangan perspektif ini uang dapat memiliki makna yang berbeda-beda, misalnya
uang sebagai ganjaran jika penerima uang itu mengartikannya demikian, tetapi
dapt pula berarti bentuk fisik dari penghargaan karena seseorang telah bekerja
dengan baik, atau uang hanyalah sekedar wujud rasa kasih sayang atau perhatian
dari pihak lain, dan sebaginya.
Baik Homans maupun Blau keduanya
sepakat baahwa adalah penting bagi masing-masing pihak dalam pertukaran
menerima sesuatu setara dengan yang telah diberikannya pada pihak lain. Menurut
Homans ini disebut dengan distribitive justice sedang Blau menyebutnya fair
exchange. Dalam pertukaran terkandung harapan-harapan yang seimbang yang
masing-masing memiliki kesetaraan. Jika sumber atau kriteria pertukaran ini
tidak seimbang maka salah satu berada pada posisi dirugikan dan lemah, sedang
pihak lain memiliki kekuasaan lebih besar serta mampu mengontrol dalam
hubunagnnya dengan pihak lain. Sebagai contoh, dalam perkawinan yang kriteria
pertukarannya tidak seimbang akan membawa akibat adaanya dominasi salah satu
pihak terhadap lainnya atau bahkan mungkin akan emneybabkan perkawinan itu berakhir.
Jadi dalam pandangan perspektif pertukaran kehidupan sosial dipandang sebagai
proses dimana didalamnya terjadi tawar menawar atau negosiasi dan hubungan
sosial yang terjadi didasrkan pada kepercayaan dan kepentingan kedua pihak.
Pertanyaan :
1. Deskripsikan dengan singkat
teori evolusi. Siapa tokoh-tokoh teori tersebut?
Untuk menganalisis fenomena
sosial apa saja teori tersebut?
2. Deskripsikan dengan singkat
teori konflik. Siapa tokoh-tokoh teori tersebut?
Untuk menganalisis fenomena
sosial apa saja teori tersebut
3. Deskripsikan dengan singkat
teori struktural fungsional. Siapa tokoh-tokoh teori tersebut?
Untuk menganalisis fenomena
sosial apa saja teori tersebut
4. Deskripsikan dengan singkat
teori interaksionisme simbolik. Siapa tokoh-tokoh teori tersebut?
Untuk menganalisis fenomena
sosial apa saja teori tersebut
5. Deskripsikan dengan singkat
teori pertukaran sosial. Siapa tokoh-tokoh teori tersebut?
Untuk menganalisis fenomena
sosial apa saja teori tersebut
0 komentar:
Posting Komentar