Indonesia merupakan
salah satu negara multikultural yang terdiri dari pulau, suku bangsa, agama,
budaya dan tradisi dari masing – masing daerah memiliki keragaman dan keunikan
sendiri. Keberagaman ini dipersatukan dalam sebuah kebinekaan yang bersatu
menjadi negara kesatuan Indonesia, atau yang sering kita dengar dan kita sebut
sebagai Negara Kesatuan Republik. Sebuah keragaman dan perbedaan karakter dari
masing – masing daerah sangatlah sulit dipersatukan tanpa adanya kesadaran dari
diri individu, keberagaman kadang pula dapat berpotensi konflik antar daerah,
suku , ras, agama disetiap daerah. Etnis berasal dari istilah Yunani “etnichos”
yang secara harfiah digunakan untuk menerangkan keberadaan sekelompok penyembah
berhala atau kafir. Dalam perkembangannya, istilah etnik mengacu pada kelompok
yang fanatic dengan ideologiny. Para ahli ilmu social pada umumnya memahami
kelompok etnik sebagai sekelompok penduduk yang mempunyai kesamaan sifat –
sifat kebudayaan: missal bahasa, adat istiadat, perilaku budaya karakteristik
budaya dan sejarah. Suku bangsa adalah golongan social yang dibedakan dari
golongan – golongan social lainya oleh karena mempunyai ciri – ciri yang paling
mendasar dan umum berkaitan dengan asal usul dan tempat asal serta kebudayaan.
Suatu kebudayaan yang hidup dalam masyarakat dapat berwujud beranekaragam dan
memiliki ciri khas masing – masing dari suatu kelompok atau daerah. Dalam hal
ini banyak factor yang mempengaruhi seperti factor lingkungan geografis yang
memisahkan kita dari daerah lain karena kita merupakan Negara kepulauan yang
terdiri dari pulau – pulau.
Factor ras atau induk bangsa walaupun ras belum Nampak jelas namun kita
pun kadang tersadar dan merasa adanya perbedaan ciri tubuh satu dengan yang
lain,serta kontak dengan Negara lain dengan segala macam kebudayaanya. Dulu
akibat dari penjajahan yang dilakukan oleh jepang dan belanda bahkan juga dulu
persebaran pedagang dari Gujarat, pada masa penjajahan ada 3 yang di sebarkan
ke Negara jajahannya yaitu Gold,Glory, dan Gospel sehingga juga mempengaruhi
Negeri kita ini. Akan tetapi sebagai bangsa Indonesia yang multicultural
kitapun sadar dengan perbedaan dan kita di persatukan dengan kebhinekaan,
bhineka tunggal ika yang artinya berbeda
- beda tetapi tetap satu Indonesia tercinta.
Masyarakat tidak ada
yang bersifat setatis akan tetapi masyarakat itu dinamis selalu berkembang dan
melalui serta mengalami suatu perubahan social budaya dan konflik. Konflik
dalam suatu masyarakat pasti dapat terjadi karena konflik merupakan sesuatu
yang sudah melekat didalam masyarakat itu sendiri. Yang akan kita bahas dalam
paper ini adalah konflik sampit yang
terjadi antara etnis Madura dengan etnis dayak. Dalam peristiwa smapit ini
terjadi berulang kali tercatat sekitar 15 kali pertikaian antar keduanya
peristiwa ini dalam renatan 1950 hingga 1999, konflik sampit terjadi besar –
besaran pada tahun 1997 konflik antara keduanya tidak bisa di hindarkan lagi. Yang saya tahu dari refrensi yang saya
baca konflik ini bukan berlatar belakang etnis belaka akan tetapi banyak orang
yang tidak tahu konflik ini hanya berlatar belakangkan etnis. Orang kadang
hanya melihat dan menilai bahwa konflik
itu hanya selalu bersifat negative dan selalu ada steriotipe dari seseorang
menilai suatu etnis. Dari pengalaman yang saya lalui selama ini orang
mengatakan bahwa orang Madura suka dengan kekerasan karena terkenal keras dan
budaya kekerasan “carok”,Carok adalah
prilaku khas orang Madura dan merupakan suatu cara yang dipandang adil untuk
menyelesaikan persoalan dalam hal ini, orang Madura menebus rasa malunya
perasaan terhina akibat dari perlakuan orang lain yang mengingkari atau tidak
mengakui kapasitas dirinya atau pelecehan harga diri dengan membunuh. Dengan
kata lain, orang Madura yang dilecehkan harga dirinya akan merasa malu kemudian
melakukan carok dengan orang yang melecehkan harga dirinya. Sedangkan orang
Dayak Kanayatn juga di kenal dengan orang yang keras dan suka kekerasan dan
ketika dulu konflik mereka suka membunuh dan memotong kepala orang. Daerah di
luar jawa sering ngindikasikan terjadinya suatu konflik yang kadang hanya
dipicu dengan masalah – masalah kecil yang menyulut pertikaian antar kampung.
Hal ini sudah wajar terjadi karena memang watak dan alam yang mempengaruhi
mereka. Berbeda dengan masyarakat Jawa merupakan suatu daerah yang dikenal
dengan toleransi tepa slira yang tinggi dan memiliki budaya sehingga di jawa
konflik memang jarang terjadi tetapi konflik ini tetaplah ada.
Konflik sampit antara
Dayak dan Madura merupakan konflik yang besar yang terjadi di Indonesia bahkan
hal ini sangat menggemparkan dan membuat warga yang tinggal di Kalimantan
terutama lokasi kerusuhan berpindah tinggal ke daerah yang lebih aman. Konflik
sampit ini dinilai berlatarbelakang etnis tetapi dari penelitian yang sudah
dilakukan oleh para peneliti ternyata konflik ini banyak factor yang
mempengaruhinya mulai dari factor social, budaya, ekonomi dan politik.
Pertikaian ini sebenarnya sudah sering terjadi diantara kedua akan tetapi
fenomena konflik yang terjadi ini seringkali muncul dan tenggelam. Tim peneliti
Depag RI dan P3PK UGM (1997), S. I. Alqadrie (1997), John Bamba (1999) dan
Yeremias (1997) mengatakan adanya argumentasi marjinalisasi dalam konteks
peranan sosial, ekonomi, budaya, dan politik diantara keduanya. Dalam konteks
ini orang Dayak diasumsikan tidak mendapatkan keadilan dari system yang ada
sehingga melampiaskan kejengkelan terhadap orang Madura. Tim Peneliti Depag RI
dan P3PK UGM (1997) bahkan menegaskan bahwa Negara dalam hal ini pemerintah
telah gagal mengelola potensi – potensi konflik yang ada di antara orang Dayak
dan Madura. Pengamat yang lain, yaitu Hendro Suroyo Sudagung,(1997: 2001)
menekankan proses sosio – cultural yang terdapat didalam struktur social orang
Dayak dan Madura, yakni tentang stereotipe antar keduanya perbedaan latar
belakang etnisitas beserta budaya diantara keduanya juga mempengaruhi
terjadinya konflik ini.
Pada tahun 1700-an
ketika Sultan Landak dan Sultan Sambas mendatangkan tenaga penambang emas ke
daerah Mandor dan Monterado (Jackson,1970;
Lontaan, 1975 ) di daerah salatiga mulai berdatangan orang – orang Cina.
Mereka berasal dari provinsi tandus Fukien yang sebagaian besar mendarat di
Kalimantan Barat antara lain sambas, monterad, mandor budok dan singkawang.
Orang cina yang datang di Kalimantan Barat berasal dari keluarga miskin
sehingga mereka benar – benar mencari sumber penghidupan yang layak. Mereka
menambang emas dan berkebun kelapa dan
karet. Di sekitar pemukiman orang Cina
terdapat kampung pemukiman orang Dayak Kanayatn Hubungan yang mencolok antara
orang Cina dengan Orang dayak adalah hubungan jual – beli atau dagang sehingga diantara keduanya memiliki hubungan
yang sangat erat. Jalur sungai merupakan sarana transportasi yang pertama yang
mereka andalkan dalam menyalurkan bahan makanan dan hasil bumi. Karena
perkembangan ekonomi tumbuh pesat menyebabkan banyak orang Cina yang
berdatangan ke daerah itu. Pada masa itu orang – orang cina di Kalimantan barat
membentuk suatu kongsi dagang, pengkonsian dengan pembagian tugas secara rapi
sehingga mirip dengan sebuah Negara. Karena interaksi yang sangat lama banyak
orang Dayak Kanayatn yang dapat berbahasa cina dialek khek maupun hoklo dengan
baik. Orang Dayak Kanayatan juga minum arak arak buatan orang cina bahkan judi
pasang nomor undian juga sampai kini masih mempengaruhi orang Dayak. Kemudian
setelah berkembangnya warga Cina yang datang dan mebuat kongsi yang kuat kongsi
Cina mulai memberontak alasanya karena mereka tak ingin tunduk di bawah
kekuasaan Sultan. Sampai pada waktunya tahun 1770 kongsi Monterado dan Budok
melepasdiri dari Sultan Sambas menyusul kongsi Mandor dari ultan mempawah.
Semenjak itu kongsi – kongsi tidak membagi upeti kepada sultan sehingga
menyebabkan adanya konflik yang berujung peperangan. Konsi Cina menyebar hampir
di semua daerah yang kaya sumber biji emas. Karena wilayah sultan sudah mulai
terganggu akhirnya sultan memerintahkan orang Dayak Kanayatn untuk mengamankan
tambang – tambang emas, Sehingga peperanganpun tidak dapat dihinndari banyak
orang Dayak Kanayatn yang mati terbunuh akibat peperangan diantara keduanya
karena banyak orang Dayak yang kalah dengan kongsi cina akhirnya sultan
memintak bantuan kepada pemerintah colonial pada waktu itu sehingga akhirnya tambang
emas jatuh kepada colonial Belanda. Meskipun kongsi cina sudah dibubarkan pada
masa Belanda tetapi pada kenyataan nya ini kongsi cina masih bertahan hingga
1967,saat Indonesia masuk kedalam pemerintahan Orde Baru. Berarti pengaruh
sosio – cultural cina masih mempenagruhi disana. Setelah pada masa Orde Baru
kondisi sosio – politik berubah, orang – orang Cina yang berada di kampung –
kampung di usir keluar oleh pemerintah
hal ini berkenaan dengan pada masa pemerintahan orde baru orang cina
dianggap turut mendukung berkembangnya pengaruh komunisme di daerah Kalimantan
Barat dan Indonesia pada umumnya sehingga pemerintah. Dalam peristiwa ini orang
Dayak di mobilisasi ( di libatkan, digerakan) oleh TNI di gerakkan untuk
mengusir paksa orang Cina keluar. Sehingga 1967 orang Cina benar – benar keluar
dari daerah salatiga orang Cina terpaksa meninggalkan daerah itu dan menuju
sungai Pinyuh, Mempawah, Pontianak dan kota – kota lain dikalimantan. Pada masa
orde baru memang etnis cina mengalami penyingkiran hal ini karena berkenaan
dengan perkembangan faham komunis yang berkembang di Indonesia. Kemudian
setelah pindahnya etnis cina yang ada di salatiga kemudian banyaknya pendatang
yang masuk ke daerah salatiga yaitu Jawa, melayu, Madura dan Dayak yang banyak
menetap di daerah tersebut sehingga mereka berbagi kampong bersama – sama.
Penduduk yang bertambah banyak adalah penduduk Madura yang sekitar 1200
jiwa/orang sedangkan dayak sendiri hanya sekitar 200jiwa/orang. Bertambahnya
penduduk Madura yang ada berkenaan dengan prinsip hidup orang Madura yang suka
dengan perantauan atau merantau di daerah lain karena hal ini juga di pengaruhi
oleh iklim atau daerah mereka yang tandus sehingga mereka lebih senang merantau
untuk mencari rejeki di daaerah orang . Banyak orang Madura yang sukses di
daerah orang karena mereka memiliki etos kerja yang tinggi seperti orang Cina
yang suka dengan merantau. Orang Madura pun dikenal dengan orang yang bila
membelanjakan hanya seperlunya tidak konsumtif. Pada awalnya memang masyarakat yang
tinggal di daerah salatiga hidup dengan damai akan tetapi lama – kelamaan
mereka mulai mengunggulkan etnis mereka yaitu dengan mengelompok – dengan etnis
mereka orang Madura mirip dengan orang Cina dan orang Yahudi yang suka tinggal kelompok demi mempertahankan
kemaduraanya ( dalam kaitan ini menarik untuk mencatat terdapatnya keparalelan
rasa keeksklusifan dengan rasa keeksklusifan orang Yahudi yang juga besar,
apalagi karena ketiga kelompok etnis tersebut sama – sama merupakan pedagang
perantau yang beretos kerja tinggi sehingga hamper selalu menjadi minoritas ini
berhasil di daerah yang didatanginya (rifai 2007 : 459). Kemudian muncul dengan
yang adanya minoritas dan mayoritas antara kelompok etnis Dayak dan Madura
sehingga muncul suatu diskriminasi diantara keduanya warga Madura sebagaiu
warga pendatang malah menguasai sector ekonomi yang ada sedangkan masyarakat
local atau Dayak malah sebaliknya mereka hidup dengan sederhana sedangkan
Madura malah terlihat berbeda dengan mereka. Perbedaaan kultul atau kebudayaan
di anatara mereka juga membuat suatu perbedaan, orang Madura yang merantau di
daerah lain harusnya dapat membungklon atau dapat membaur dengan masyarakat
local yang ada dan tinggal di sekitar mereka. Orang Madura yang terkenal dengan
budaya yang keras membuat pencitraan di mata orang Dayak. Menurut Kenneth E.
Bolding (1972:41-51 menyatakan bahwa citra adalah apa yang dipercaya benar atau
merupakan suatu bentuk pengetahuan subyektif perilaku seseorang pada berbagai
peristiwa tergantung pada citra yang dimilikinya. Sebagaimana citranya berubah
pada bentang waktu maka berubah pula perilakunya. Dalam hal ini manusia tidak
hanya dapat membentuk citranya tetapi juga dapat memperbincangkanya. Citra
meliputi citra tentang fakta dan nilai yang terbentuk sebagai akibat dari
seluruh pengalaman pemilik citra itu sendiri.
Tidak hanya individu masyarakat membentuk citra secara kolektif sehingga
secara tidak langsung dapat mempengaruhi, mensosialisasi dan enkulturasi masyarakat
yang ada di daerah tersebut. Di daerah itu terjadi konflik antara orang Madura
dengan Madura kemudian karena mempertahankan harga diri keduanya mengeluarkan
celurut orang Dayak kanayatn pun melihat pertikaian 2 (dua) orang Madura tadi
dan menilai orang Madura itu suka dengan kekerasan. Lama kelamaan orang Madura
di citrakan buruk dan kemudian di sosialisasikan kepada para anak orang Dayak
dengan mengatakan jangan pergi jauh – jauh awas di culik, sehingga anak –
anakpun merasa takut dan kemudian tidak saling berbaur mereka lebih banyak berbaur
dengan bagian kelompoknya In-group. Perbedaan budaya yang sangat mencolok
membuat diantara keduanya kurang bisa di persatukan karena masing – masing
membanggakan dan mempertahankan budayanya sehingga terjadi etnosentrisme.
Sebelum terjadinya konflik orang Dayak merasa jika mereka sudah mulai
tersisihkan di daerah sendiri sehingga mereka memperjungkan hak yang mereka
miliki sebagai warga local yang memiliki kekuasaan penuh terhadap sumber –
sumber ekonomi yang ada disana. Dalam melancaraka serangan di anatara keduanya
juga mengunakan persiapan yang matang sehingga mereka tidak mati sia – sia.
Sebelum penyerangan kekampung orang Madura Orang Dayak mengadakan suatu ritual
upacara yang bertujuan mendatangkan kekuatan supranatural dari komang atau roh
halus. Sebelumnya juga dilakukan suatu penyeleksian kepada orang yang ingin
berangkat untuk menjadi anggota tariu (orang yang berperang). Sebelum upacara
narik tariu, terlebih dahulu dilakukan batanung mato ’merenung dan menyumpah
lawan perang kemudian dilakukan narik tariu sambil menghambur – hamburkan baras
banyu yang disambut dengan keberangkatan bala tariu ‘pasukan perang’. Baras
banyu bagi bala tariu adalah merupakan media pengantar antara manusia dengan
roh halus. Jika ada tanda – tanda bahaya mengancam, maka peranannya dibutuhkan
untuk nabas ka’saka maraga merintis jalan menguasai roh jahat orang bunian
‘orang setengah manusia setengah mahluk halus’dan komang, baras banyu bagi bala
tariu dianggap paling kuat dan kebal, berani dan dia dapat mengenal roh – roh.
Peserta narik tariu berpakaing dengan memakai cawet dan menggunakan ikat kepala
berwarna merah dan putih yang dipelintir bersamaan. Pengunaan busana ini
berkenaan dengan identifikasi diri orang Dayak sebagai kamang. Sebab komang
dapat dapat melihat dan mencium baud an minum darah. Sehingga kekuatanya masuk
kedalam tubuhnya dengan sajen dengan atau manuk calah ”ayam merah” sebagai
bentuk pengorbanan untuk komang. Dalam upacara narik tariu mengartikan bahwa
orang Dayak masih sangat mepercayai hal hal gaip sehingga nilai kepercayaan
akan roh roh masih sangat kental. Mengapa mereka melakukan upacara tersebut di
akibatkan karena sebenarnya orang Dayak tidak mampu mengalami lebih lama lagi
rasa takut dan terancam. Ketidak mampuan orang Dayak mempertahankan situasi
ketakutan keterancaman hidupnya dan frustasinya saat itu di cerminkan dalam
ucapan ibarat pupuk ka’dalapm bontokng”laksana mengisi sesuatu benda kedalam
tabung bamboo sampai pecah. Artinya segala sesuatu di dunia ini memilki suatu
keterbatasanya. Pada saat orang Dayak melaksanakan upacara itu citra Madura
yang suka dengan kekerasan mencapai kematangannya dalam mempengaruhi rasa,
sikap dan tindakan orang Dayak sebagai suatu reaksinya atas situasi sosiajnya
yang terancam. Orang Dayak menerima citra orang Madura dengan cara melawannya.
Potensi konflik yang timbul antara Dayak dan Madura termatangkan dengan di
adakannya upacara ritual tersebut
sehingga Dayak ingin menunjukan identitasnya terhadap orang Madura.
Konflik didalam suatu masyarakat sudah tidak dapat dipisahkan lagi
konflik sudah menjadi suatu bagian dalam masyarakat. Berlaku dalam semua aspek
relasi social yang terbentuk bisa berupa relasi
antar individu, relasi individu dengan kelompok atau kelompok dengan
kelompok. Istilah konflik sering di sinonimkan dengan istilah seperti
competition, disharmony, tension, antagonism, friction, hostility,struggle atau
controversy (Michell, 1994 : 1). Konflik merupakan suatu fenomena wajar dan
alamiah yang terjadi pada masyarakat manapun, dimanapun, kapanpun dan siapapun.
Konflik hadir di tengah – tengah masyarakat baik tradisional maupun modern.
Menurut pandangan Michell (1997 : 7) konflik adalah sesuatu yang tak dapat
dielakan karena it can originate in individual and group reactois of scare
resources : to division of function wihtin society:and to differentiation of
power and resultant competition for limited supplies of goods, status valued
roles and power as-an-end-in-itself. Coser mendifinisikan konflik sebagai nilai
–nilai atau tuntutan yang berkenaan dengan status kekuasaan (status quo)
mengumpulkan sumber materi atau kekayaan yang langka, dimana pihak - pihak yang
berkonflik tidak hanya ditandai oleh perselisihan tetapi juga berusaha untuk
menghancurkan pihak lawan. Menurut pandangan Coser ini memang benar bahwa dalam
konflik sampit di Kalimantan Barat etnis Dayak mempertahankan kekuasaanya mulai
dari social politik dan ekonomi sehingga dengan ini etnis Dayak lebih memilih
untuk melawan dengan kekerasan. Konflik antara Dayak dan Madura memang sempat
menjadi suatu topik yang sangat bombastis bahkan konflik sampit ini juga
menjadi salah satu masalah bagi Negara dan pemerintah kita. Dalam menyikapi
masalah ini pemerintahpun harusnya mengeluarkan suatu solusi untuk menyatukan
kedua etnis ini harus ada proses integrasi yang netral dan tidak berbau SARA.
Dalam hal ini peran pemerintah dalam mengadakan integrasi di antara keduanya
sangatlah penting sehingga setelah selesai diharapkan konflik ini tidak muncul
kembali. Saat ini harusnya pemerintah juga memberikan pendidikan multicultural
dalam kurikullum pendidikan di negeri kita, Malahan di Malaysia ada kebijakan
yang mengacu pada pendidikan multikultural. Kebijakan itu pada masa perdana
mentri Mahamatir mochamad yaitu mendirikan banyak sekolah multikultural, yang mengatasi
perbedaan suku, agama, ideology serta kepemilikan modal. Masalah yang
terpenting dalam pendidikan multikultural adalah bagaimana didalam sekolah itu
tumbuh secara alamiah perasaan emosional yang menyatu antara warga masyarakat
dari berbagai strata sosial maupun etnis tertentu. Dengan membangun landasan
kebangsaan melalui sekolah multikultura, akhirnya sekarang Malaysia berhasil
menyikapi dengan tepat masalah – masalah besar yang cukup mendasar di bidang
ekonomi, politik, sosial dan budaya. Harusnya kita perlu belajar dari negara
tetangga kita itu. Nah yang harus kita amati, telisik dan dalami apa yang
dimaksud masyarakat yang multikultural dan apa yang disebut dengan masyarakat
majemuk. Implementasi apa yang terjadi dari masyarakat multikultural ini. Konflik
sampit sendiri memang sekarang sudah mereda akan tetapi suatu saat nanti
konflik ini juga dapat terjadi lagi. Hipotesa ahli ilmu politik seperti P.
Laslettt (1982) mungkin benar bahwa sistem kekuasaan otoritarian adalah bentuk
adaptif dari suatu pengaturan masyarakat majemuk dengan populasi besar yang
terikat sebagai suatu negara-bangsa yang tinggal di pulaupulau yang banyak dan
tersebar luas.
Masyarakat Majemuk Konsep masyarakat majemuk atau masyarakat plural
seringkali dibicarakan bersama-sama dengan konsep masyarakat multikultural,
karena keduanya sama-sama menggambarkan keanekaragaman sosial dan kebudayaan.
Akan tetapi, apabila istilah plural dan multikultural ini ditambahi imbuhan
isme maka pengertian keduanya akan berbeda. Pluralisme berarti pemahaman atau
cara pandang keanekaragaman yang menekankan entitas perbedaan setiap masyarakat
satu sama lain dan kurang memperhatikan interaksinya, sedangkan
multikulturalisme adalah pemahaman dan cara pandang yang menekankan interaksi
dengan memperhatikan keberadaan setiap kebudayaan sebagai entitas yang memiliki
hak -hak yang setara. Dari konsep multikulturalisme inilah kemudian muncul
gagasan normative mengenai kerukunan, toleransi, saling menghargai perbedaan
dan hak-hak masingmasing kebudayaan penyusun suatu bangsa. Paradoks masyarakat
majemuk memasuki dunia antropologi melalui diskusi J.S. Furnivall (1948)
mengenai kebijakan dan praktik kolonial di Indonesia dan Burma. Ia menguraikan
masyarakat majemuk sebagai masyarakat di mana orang-orang yang secara rasial
berbeda hanya bertemu di pasar-pasar, suatu gambaran mengenai politik ekonomi
kolonial. Kebudayaan-kebudayaan penyusun masyarakat majemuk dilihat sebagai
entitas otonom, distinktif, yang berbeda satu sama lain. Batas-batas antara
kebudayaankebudayaan satu sama lain tegas, dan interaksi di antaranya minimal
kecuali dalam arena pasar atau arena publik lainnya yang memungkinkan orang
bertemu karena kepentingan tertentu. Furnivall mengatakan bahwa masyarakat
majemuk adalah “…kumpulan orang … mereka bergaul tapi tidak bercampur. Setiap
kelompok memegang agama mereka sendiri, kebudayaan dan bahasa sendiri, gagasan
dan cara hidup sendiri. Sebagai individu-individu mereka bertemu satu sama lain
tetapi hanya di pasar-pasar, ketika berjual-beli. Inilah masyarakat majemuk,
dengan bagian-bagian komunitas yang hidup berdampingan, tetapi terpisah dalam
satuan politik yang sama” (1948: 304). Indonesia dipandang sebagai contoh
masyarakat majemuk dengan pandangan pluralisme karena anekaragam masyarakat dan
kebudayaannya, setidak-tidaknya pada masa lampau, kurang berinteraksi satu sama
lain, antara lain karena faktor geografis kepulauan. Multikulturalisme Berbeda
dari konsep pluralisme yang menekankan keanekaragaman suku bangsa dan
kebudayaannya, sehingga setiap kebudayaan dipandang sebagai entitas yang
distinktif, maka multikulturalisme lebih menekankan relasi antar-kebudayaan
dengan pengertian bahwa keberadaan suatu kebudayaan harus mempertimbangkan
keberadaan kebudayaan lainnya. Dari sini lahir gagasan kesetaraan, toleransi,
saling menghargai, dan sebagainya.
Max weber berpandangan bahwa pertentangan merupakan salah satu prinsip
kehidupan social yang sangat kukuh dan tak dapat dihilangka. Dalam susunan
masyarakat apapun pada masa yang akan dating, orang – orang akan tetap selalu
bertarung dan merebutkan berbagai sumber daya, walaupun mengambil bentuk –
bentuk dan tingkat kekerasan yang secara substansial sangat bervariasi. Bentuk
konsepsi weber, maka dalam relasi orang Dayak Kanaytn – Madura, baik orang
Dayak Kanayatn maupun orang Madura membayangkan ingin meraih dominasi dalam hal
pandangan dunia mereka baik berupa falsafah hidup, perilaku cultural, maupun
kebiasaan, kebiasaan tertentu. Sehingga dalam hal ini diantra keduanya saling
melindungi yang sesuatu yang dianggap benar dan dianggap menuntungkan bagi
masing – masing kelompok. Sedangkan Ralf Dahrendof melihat konflik itu muncul
karena adanya superordinat dan subordinat yang berkonflik dan kemudian terjadi
perubahan sosial. Dalam konteks ini konflik sampit ini memang dalam diantara
keduanya berkonflik ini di harapkan adanya suatu perubahan social etnis Dayak
menginginkan akan suatu pengakuan bahwa orang Dayak yang berkuasa dan menguasai
sumber – sumber yang ada karena mereka sebagai warga local dan orang Madura
hanya sebagai pendatang. Ini seperti pemikiran Max tentang memandang suatu
konflik yang terjadi. Tak hanya konflik
yang terjadi akan tetapi mereka juga menunjukan adanya suatu
interaksionisme simbolik diantara etnis tersebut. Interaksionisme simbolik
menurut George Herbert Mead adalah suatu proses interaksi dengan menggunakan
symbol – symbol yang memiliki makna. Dalam hal ini Dayak ingin memperlihatkan
simbolnya dengan mengadakan perlawan terhadap Madura. Secara simbolik
masyarakat Madura memiliki ciri biasanya memakai peci dan membawa celuri untuk
menjaga dirinya.
Konflik Madura dan Dayak merupakan konflik yang tidak berlatar belakang
etnis belaka, banyak factor – factor yang mempengaruhinya mulai dari etnis,
social, bidaya, ekonomi dan politik. Kita harusnya dapat berkaca di depan
dengan setelah adanya konflik ini harus menjadi pelajaran untuk melangkah ke
depan dengan lebih baik lagi. Konflik juga memiliki dampak positif diantara
sebagai membangun kesatuan antar kelompok sehingga lebih solit lagi. Konflik
juga sebagai media interaksi antara dua orang yang berkonflik yaitu adalah
Madura dan Dayak. Interaksi yang baik antar sesam individu serta saling
toleransi dapat meredam konflik itu muncul. Penerapan semangat kebhinekaan di
dalam diri kita dapat membuat kita sadar akan perbedaan yang ada di Nusantara
ini Indonesia yang merupakan negara kesatuan serta menerapkan pancasila sila
ketiga yaitu persatuan Indonesia. Sosialisasi dan pengetahuan mendalam tentang
multikulturalisme juga dapat membuat kita tahu dengan orang yang berbeda daerah
dengan kita itu harus kita hargai karena kita sebangsa dan senegara.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad.1999.Kamus Lengkap,Bahasa Indonesia Modern.Jakarta:pustaka
Amani.
Boulding, Kenneth E.1972.”The Image” dalam James P Spradley. Culture and
Cognition Rules
Giring.2004.Madura dimata Dayak dari Konflik ke
Rekonsiliasi.Yogyakarta:Galang Press.
Jurnal Antar Budaya Menemukan Diri yang Inklusif dan Transformatif.Edisi
1, Tahun 1, Juli 2009.Yogyakarta: Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gajah
Mada.
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI•Vol. II•No. 1•April 2006.
Medan: Jl. Dr. A. Sofyan No.1 Kampus USU, Padang Bulan.
Munib, Acmad,dkk (2009) Pengantar Ilmu Pendidikan.2009.Unnes press,
Semarang
Koentjaraningrat.2000.Pengantar Ilmu Antropologi.Jakarta:PT RINEKA CIPTA.
Salim, Agus.2007.Teori Sosiologi Klasik dan Modern(sketsa pemikiran
awal).Unnes Press.
Soekanto, Soerjono.2004.Sosiologi Suatu Pengantar.Jakarta:PT Raja
Grafindo Persada.
Tim Fakulas Ilmu Sosial Unnes.2007.Studi Masyarakat Indonesia.Semarang:Fakultas
Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.
www.Tempo.com Kesenjangan
Sosial,Akar Permasalahan Konflik Sampit.
sumber : http://sirhusain.blogspot.com/2011/12/konflik-madura-dan-dayak-di-kalimantan.html
0 komentar:
Posting Komentar