Pages

Senin, 29 Juli 2013

MENGAPA POLITIK DINASTI HARUS DICEGAH






Walaupun dalam status di facebook dan twitter saya selalu menyerukan untuk tidak menerima proses regenerasi kekuasaan melalui garis turunan sedarah atau yang populer disebut politik dinasti, sebenarnya saya tidak alergi dengan politik dinasti, asalkan saja terbentuknya dinasti politik dari proses tersebut, dilalui melalui tahapan yang jujur dan adil. Karena adalah hak konstitusional setiap anak bangsa, apakah istri, anak, mertua, menantu, adik atau adik ipar, di negara yang menganut demokrasi seperti Indonesia, untuk memperoleh posisi atau kekuasaan apapun dan dimanapun di negara ini. Tetapi masalahnya, munginkah dalam proses regenerasi kekuasaan yang mengadopsi politik dinasti dapat tercipta suatu proses yang adil dan jujur? Khususnya dalam masyarakat Indonesia, yang masih kental dengan kultur feodalisme dan tingkat pendidikan yang relatif rendah! Inilah yang akan saya coba ulas dalam tulisan ini.

Pengertian Politik Dinasti



Kekuasaan adalah anak kandung politik. Sama dengan salah satu tujuan pernikahan untuk memperoleh keturunan, maka tujuan berpolitik ujung2nya adalah memperoleh kekuasaan yang merupakan kepentingan abadi dari politik. Politik dinasti didefinisikan sebagai suatu proses berpolitik dimana untuk memperoleh, mempertahankan atau melanggengkan kekuasaan, dilakukan berdasarkan regenerasi melalui garis keturunan atau melalui hubungan kekerabatan. Jadi politik dinasti adalah suatu usaha dari pemegang kekuasaan untuk melanggengkan cengkraman atas kekuasaan. Kelompok pemegang kekuasan atau rezim politik yang menjalankan kekuasaan secara turun-temurun dalam garis hubungan kekerabatan/kekeluargaan disebut dengan dinasti politik. Berdasarkan ilmu politik, politik dinasti sering juga disebut dengan demokrasi oligarkis, dimana penentuan orang2 yang akan memegang kekuasaan, baik dalam partai maupun dalam pemerintahan, di tentukan oleh sekelompok orang tertentu yang memiliki pengaruh.

Di negara yang kaya dan sangat demokratispun keberadaan dinasti politik jamak terjadi. Hal ini sejalan dengan teori yang dikembangkan oleh Gaetano Mosca, filsuf Italia dalam bukunya The Ruling Class, sebagaimana yang telah banyak dikutip (Maulanusantara: Politik Dinasti dan Demokrasi, dalam blog MAULA, Masyarakat Universal Lintas Agama, 14 Maret 2011 dan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, Konstelasi, Edisi ke-30, Maret 2011), yang menyatakan bahwa: "setiap kelas pada faktanya, menunjukan kecenderungan untuk membangun tradisi yang turun temurun atau untuk menjadi sekumpulan orang seketurunan, jika tidak bisa dalam aturan hukum". Hal ini dapat kita lihat bahkan dalam suatu organisasi yang demokratispun, jika sebuah kepemimpinan terpilih, maka ia akan membuat kekuasaannya sedemikian mapan, sehingga sulit untuk digeser, walaupun hal itu menggerus prinsip2 demokrasi. Atau seperti kata Ernesto Dal Bo et al, dalam paper mereka, Political Dynasty: "when a person holds more power it becomes more likely that this person will start, or continue, a political dynasty" (The Review of Economic Study 76, 2009). Dan kalau ini terjadi dan dibiarkan maka kita tinggal tunggu saja terealisasinya adagium terkenal dari Lord Acton: "power tend to corrupt, absolut power corrupt absolutely".

Menurut Ronald U. Mendoza (Dynasties in Democracies: The political side of inequality, 11 Maret 2012), keberadaan dinasti politik di negara demokrasi berkisar antara 6% di Amerika Serikat sampai dengan 40% di Filipina dan Mexico. Dalam kasus Filipina, menurut Mendoza, bila diperhitungkan hubungan keluarga antara Kepala Daerah (local government unit) dengan para legislator, angka itu mencapai 70%. Sementara menurut Yulius Caesar et al, mengutip Centre for People Empowering in Government, ada 178 dinasti Politik berada di 73 dari 80 Propinsi di Filipina (Political Dynasty Dominate in Indonesia and Philppine, dalam blog THE NATION, Februari 2013). Di Indonesia sejak diperkenalkannya pilkada langsung untuk daerah2 tahun 2005, walaupun belum mencapai tingkatan seperti Filipina, keberadaan dinasti politik di daerah2 menunjukan peningkatan yang sangat cepat, dimulai dengan dinasti Chasan Sohib (Banten), Yasin Limpo (Sulawesi Selatan), Syahrudin ZA (Lampung) untuk tingkat Provinsi, dan banyak lagi dinasti2 kecil untuk tingkat Kabupaten. Tumbuhnya dinasti politik di Indonesia memang dimulai di Banten, dan sebagai orang Banten, saya sangat "tidak bahagia" (tetapi sama sekali tidak marah, karena itu merupakan kenyataan) ketika ada seorang penulis/pengamat politik menyebut politik kedinastian di Indonesia sebagai fenomena "Banten" (Andrie Herlina: Oligarki Dalam Politik Dinasti, dalam Kabar Indonesia, 15 Maret 2011).

Kalau melihat terbentuknya dinasti politik di negara2 maju dengan tingkat pendidikan dan pendapatan tinggi, AS (Kennedy, Bush, dll) atau Singapore (Lee), proses pembentukannya tampak terjadi dengan wajar dan dengan tetap memperhatikan prinsip meritokrasi. Keluarganya dipersiapkan sedemikian rupa, untuk memperoleh keunggulan, baik dalam bidang pendidikan, yang umumnya jebolan dari Universitas ternama, maupun dalam kepemimpinan, dimana mereka mengikuti proses rekrutmen secara berjenjang, tidak secara tiba2 langsung jadi pemimpin. Mereka dipersiapkan secara hati2 untuk selalu berada dalam jalur yang "benar dan baik", karena masyarakat disana sangat anti (tidak permisif) terhadap penyimpangan yang dilakukan calon pemimpin mereka. Barangkali ada yang masih ingat, bagaimana si bungsu Ted Kennedy tidak pernah berhasil maju menjadi presiden AS, dan menjadi Senator abadi, karena pernah terlibat skandal etika (skandal Chappaquiddick), ketika ia meninggalkan Sekertarisnya begitu saja, yang kemudian meninggal, dalam kecelakaan mobil yang mereka berdua naiki, saat tengah malam kecebur ke sungai, selepas pulang dari suatu pesta (party). Secara legal Ted dianggap tidak bersalah, tetapi masyarakat menganggapnya melanggar "etika". Politik dinasti di negara2 maju, tidak dipersoalkan benar, karena rakyat tetap bisa memilih pemimpin yang memang layak menjadi pemimpin, bukan karena bapaknya atau suaminya. Lain halnya di negara2 dengan tingkat pendidikan dan pendapatan masih rendah, misalnya Indonesia, bisa terjadi seorang Bupati yang masuk penjara karena korupsi digantikan oleh istri atau bisa terjadi konon seorang anak wanita Bupati yang pernah merekam adegan sexnya dan sempat beredar luas, kemudian bisa menjadi Bupati menggantikan bapaknya yang masuk penjara karena korupsi pula atau suatu jabatan Bupati (di Jawa Timur) diperebutkan oleh istri tua dan istri muda mantan Bupati yang diberhentikan karena korupsi (waduh, opo ora hebat?).

Dinasti politik memang akan tumbuh subur di negara dimana rata2 tingkatan pendidikan rendah dan turunannya yaitu tingkat pendapatan, juga rendah (miskin), apalagi bila distribusi pendapatan disertai dengan tingkat ketimpangan (inequality) yang tinggi. Budaya feodalisme yang kental serta lemahnya kelembagaan parpol, yang merupakan pilar demokrasi, juga merupakan faktor tumbuh suburnya dinasti politik. Dalam negara demokrasi dengan tingkat pendidikan rendah dan kemiskinan tinggi, rakyat tidak mengerti dan atau tidak menjadi soal siapa dan bagaimana pemimpin mereka terpilih, mereka sudah cukup senang bila dalam proses regenerasi melalui pesta demokrasi yang diadakan, mereka dapat memperoleh sedikit manfaat ekonomi. Mereka tidak menyadari bahwa manfaat ekonomi yang diperoleh mereka adalah hanya sesaat dan bahkan tidak sebesar ujung kuku dari pemimpin yanag mereka pilih, sementara pemimpin yang mereka pilih memperoleh manfaat ekonomi selama masa jabatan mereka dengan memperhitungkan semua biaya dan "pembagian" yang telah mereka keluarkan beserta imbal baliknya. Situasi ini sejalan dengan temuan Mendoza, ibid, bahwa politik dinasti biasa terjadi di daerah (negara) yang berpenduduk miskin. Hasil penelitian yang dilakukan oleh AIMPC (The Asian Institute Of Management Policy Centre) memperkuat temuan, yang menunjukan bahwa legislator yang berasal dari politik dinasti, ternyata mewakili daerah dengan pendapatan per kapita yang rendah dan atau tingkat kemiskinan yang tinggi.

Dalam budaya feodalisme yang kental, dari sisi penguasa terlihat adanya kecenderungan berprilaku untuk selalu ingin dihormati, sementara dari sisi masyarakat terdapat kecenderungan untuk menganggap tinggi mereka yang memiliki status jabatan dan kekayaan. Masyarakat dengan kultur feodal yang kental  berpedapat bahwa para pemimpin atau pejabat memang sudah merupakan suratan sebagai pemimpin atau pejabat, dan karena jabatannya beliau2 itu harus di hormati dan di turuti. Masyarakat pada umumnya kurang memahami bahwa dalam negara yang menganut paham demokrasi, setiap orang (rakyat) bisa menjadi pejabat dan bisa punya kekayaan, asalkan memiliki ilmu pengetahuan. Dengan demikian keturunan pejabat itu bisa saja menjadi pemimpin atau pejabat, tetapi bukan karena mereka anak pemimpin/pejabat, tetapi karena memang memiliki pengetahuan dan layak untuk menjadi pemimpin. Bahwa para keturunan pejabat itu memiliki pengetahuan karena mereka lebih banyak memiliki dan diberi kesempatan, dan bahkan bahwa kadang2 kesempatan itu hanya untuk mereka, diterima saja oleh rakyat dengan pasrah dan tanpa protes, karena dianggap itu sudah hak mereka sebagai anak pejabat, padahal rakyat memiliki hak yang sama. Atau bisa juga kepasrahan itu juga karena ketidak berdayaan, dalam pemikiran mereka, walaupun protes, nasib mereka  tetap saja sama, bahkan bisa2 ada "biaya" yang harus dibayar untuk itu.

Selain kedua hal diatas, faktor lain yang mendukung tumbuh suburnya politik dinasti, adalah lemahnya fungsi kelembagaan parpol sebagai pilar demokrasi. Walaupun partai2 sudah banyak memiliki sistem dan mekanisme dalam manajemen kepartaian yang cukup modern, tetapi karena kurangnya dana untuk menjalankan roda organisasi partai, dan masih kentalnya kultur feodalisme seperti yang diuraikan diatas,  maka partai2 ini segera merapat dan merekrut pejabat atau mereka yang memiliki dana besar. Atau sebaliknya dengan kondisi kepartaian seperti itu, maka langsung akan "ditangkap" oleh keluarga pejabat untuk mendapat posisi struktural di partai. Dengan kedudukan keluarga pejabat dalam partai, tentu akan memudahkan partai untuk meraih posisi dalam mengikuti proses demokrasi yang berlaku.

Politik Dinasti dan Ketidakadilan
Kecenderungan seperti yang dinyatakan oleh Mosca dan hasil penelitian yang dilakukan Ernesto Dal Bo, menunjukan bahwa begitu seseorang mulai berada dalam kekuasaan, maka ia akan berusaha untuk melanggengkan kekuasaannya. Dinegara dengan kecerdasan rakyat yang tinggi, bersifat kritis dan peran media yang kuat sebagai pilar ke-4 demokrasi, maka yang segera mereka lakukan adalah mencoba utuk merealisasikan janji2nya dalam kampanye. Kalau tidak sesuai atau terjadi penyelewengan, maka media akan segera menyuarakan dan mengekspos "sekian kebohongan sang pemimpin", secara terus menerus dan jangan harap dapat melanggengkan kekuasaannya dalam pemilihan berikut. Jadi hal ini memang tidak selalu negatif, sedikitnya kondisi ini yakni hasrat untuk terus berkuasa akan mendorong terealisasinya janji kampanye dan menjamin kesinambungan program pembangunan dari sang pemimpin.


di copy dari: namprel.go.ph
Tetapi di negara dengan pendidikan rendah dan kemiskinan tingggi serta akses rakyat terhadap informasi rendah, maka hal seperti itu, berdasarkan pengalaman di Filipina, India dan sekarang ini di berbagai daerah di Indonesia, hal itu jarang terjadi. Pemimpin baru akan berupaya untuk segera menempatkan orang2nya di posisi2 yang akan menghasil-kan rente yang tinggi, menempatkan keluarga dalam berbagai organisasi sosial (orsos), baik dalam orsos yang berafiliasi dengan birokrasi ataupun yang tidak. Dan kemudian "gong"nya adalah menempatkan "putra mahkota" sang calon pengganti dalam kepemimpinan struktural parpol yang akan mengusungnya kelak saat penggantian kepemimpinan tiba. Dengan penguasaan atas posisi2 baik di birokrasi, orsos, maupun di parpol maka akan sangat mudah dan cepat sang pemimpin mencengkramkan kukunya di berbagai aspek kegiatan ekonomi, politik dan sosial di daerahnya. Dengan rente yang diperoleh dan dengan bantuan fasilitas birokrasi, maka dia akan dapat membiayai dan menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menguntungkan bagi dia dan keluarganya.

Dengan mengambil contoh Filipina, menurut Mendoza et al, (An Empirical Analysis of Political Dyanaties in the 15th Philippine Congres, 2012, halaman 28 dan 29), prosentasi pengeluaran untuk kepentingan pembangunan infra struktur, kesehatan dan pendidikan di daerahnya memang besar, dan aktifitas ini memang menghasilkan dukungan politik besar bagi sang petahana atau kandidat dari keluarganya, dibandingkan kandidat lain yang bukan dari dinasti. Tetapi pengeluaran yang besar ini ternyata tidak meningkatkan Index Pembangunan Manusia (IPM; diukur dari harapan hidup, pendidikan, pendapatan, dll) di sana. Invetigasi informal yang dilakukan beberapa jurnalis, menunjukan bahwa antara 12-25% anggaran untuk infra struktur, dan sekitar 50% anggaran untuk kesehatan, buku2 sekolah dan berbagai investasi dalam berbagai input untuk human capital, telah hilang dikorupsi. Dalam tulisan lain dari Mendoza yang lebih dulu dikutip, 80% dari legislator yang berasal dari dinasti politik, mengalami peningkatan aset atau harta yang cukup signifikan. Bahkan 50% dari sampel yang diteliti, mengalami kenaikan harta kekayaan yang jauh besar melebihi dari mereka yang invest di pasar modal Filipina. Bukan main!

Dengan demikian, politik dinasti memiliki potensi yang sangat besar untuk terjadinya KKN bahkan bisa dikatakan politik dinasti adalah saudara kandung KKN. Hasil penelitian di Filipina menunjukan bahwa politik dinasti tidak bisa lepas dari KKN. Kalau mengamati di Indonesia, terutama untuk "raja2 kecil" di daerah,  walaupun belum ada penelitian khusus untuk mengetahui secara kwantitatif besarnya, namun secara kasat mata kita bisa lihat betapa pesatnya peningkatan aset mereka, yang kalau dihitung dari gaji atau pendapatan yang disediakan, tidak mungkin hal itu dapat terjadi. Dalam politik dinasti juga akan melekat "ketidak adilan" (unfairness dan inequality). Rakyat yang merasa mampu dan memiliki kapasitas untuk maju meraih posisi politik atau jabatan publik, dipastikan tidak akan mendapat akses yang sama dengan mereka yang berasal dari dinasti, baik dalam informasi maupun fasilitas. Birokrat2 di daerah dari yang tertinggi sampai unit terkecil di desa, akan dikumpulkan dengan alasan untuk diberikan "pencerahan", tetapi sebenarnya untuk mendapatkan "pembekalan" yang berujung pada "pengarahan". Mereka tentu akan berpikir ulang untuk tidak mendukung, karena jika nanti pada hasil pemilihan di daerahnya calon dari dinasti kalah, maka mereka akan menerima risiko kehilangan jabatan. Dengan demikian, berdasarkan pengalaman panjang di Filipina dan yang terjadi di daerah2 di Indonesia belakangan ini, politik dinasti akan bermuara pada ketidak adilan. Berdasarkan bukti empiris, hanya dalam masyarakat yang kritis (dan ini akan ada pada masyarakat dengan pendidikan dan pendapatan tinggi) dan memiliki akses yang kuat dan luas terhadap informasi, KKN dan ketidak adilan yang terjadi dalam politik dinasti, dapat diminimalkan.

Politik Dinasti di Indonesia
Bagaimana di Indonesia? Sebagai negara yang penduduknya memiliki rata2 tingkat pendidikan rendah dan kemiskinan tinggi dan kelembagaan parpol yang masih lemah, tak pelak lagi sebagaimana terjadi di negara yang mengadopsi demokrasi dalam keadaan kualitas penduduk yang rendah, Indonesia akan merupakan lahan subur bagi tumbuhnya dinasti politik. Kita lihat, belum juga penerapan demokrasi bebas berusia seumur jagung, dimulai dengan Banten dimana pembentukan dinasti disini sangat mencolok, terbentuknya dinasti politik telah merebak ke berbagai daerah. Karena masih baru, belum banyak penilitian yang berkaitan dengan masalah dinasti politik di Indonesia, baru terbatas kepada data tentang para dinasti dan berbagai langkah yang mereka tempuh untuk membentuk dinasti.

Fenomena Banten, meminjam istilah Andrie Herlina, telah menyebar ke; Bali dimana anak Bupati Tabanan menggantikan ayahnya, ke Lampung; anak Gubernur Lampung, Ricky Mendoza, menjadi Bupati Lampung Selatan, di Way Kanan dan Tulang Bawang, anak Bupati mencalonkan diri dan atau menggantikan ayahnya. Ke Kalimantan; Rita Widysari, menggantikan ayahnya Syaukani, yang sekarang menjadi terpidana korupsi, menjadi Bupati Kukar, Neni Moernaeni istri Walikota Bontang, maju menggantikan suami, Sofyan Hasdam. Ke Jawa Tengah; di Sukohardjo, Sragen, dan Semarang serta Bantul di Jogyakarta, para istri maju menggantikan suami. Ke Riau; dimana istri Gubernur Riau Rusli Zainal, yang sekarang jadi tersangka korupsi di KPK, pada tahun 2011, bersaing dengan istri Walikota Pekanbaru, untuk merebut kedudukan Walikota Pekanbaru. Di Jawa Barat, tetangga Banten, Ana Sophanah, istri Cagub Jabar Jance, menggantikan Jance sebagai Bupati Indramayu, dan baru2 ini kalau tidak salah istri Walikota Cimahi menggantikan suaminya di Cimahi. Sebenarnya karena luput dari pemberitaan pers dan tidak sempat kita ikuti, dinasti politik juga telah terbentuk seperti di Sulawesi, keluarga Yasin Limpo, yang sekarang Gubernur Sulsel, di Lombok dan banyak lagi.
Pada tatanan nasional, politik dinasti yang terjadi pada partai politik, adalah Megawati yang melanggengkan kekuasaan melalui Puan Maharani, atau Susilo Bambang Yudhoyono melaui Eddi Baskoro, atau Gus Dur melalui Yeni Wahid. Dalam kepemimpinan nasional, posisi Megawati sebagai presiden, walaupun terjadinya bukan dilakukan oleh pemegang kekuasaan lama yang digantikan (PNI atau Sukarno), dapat kita anggap sebagai cikal bakal politik dinasti dalam demokrasi Indonesia. Kita tunggu dan lihat bagaimana siasat SBY, membentuk dinasti Yudhoyono dan tidak sulit untuk dilihat bahwa dia sedang mempersiapkannya. Bagaimanapun, positifnya SBY dalam menyiapkan dinasti dibanding dinasti lain di Indonesia, adalah SBY mengikuti pola2 yang terjadi di negara2 maju dengan tetap mengedepankan meritokrasi (re.: keluarga Lee Kuan Yew di Sing dan Kennedy, di AS). Misalnya pengangkatan Pramono Edhi Wibowo sebagai KSAD dan Erwin Sudjono sebagai Pangkostrad, dua2nya ipar, mengikuti proses yang normal dan memang layak untuk diangkat. Sementara itu SBY juga menyiapkan anak2nya sedemikian rupa a.l pendidikan yang jebolan dari Universitas di luar negeri (Agus di Harvard, AS dan Ibas di Australia). Dalam karir pekerjaannya baik Agus di militer, maupun Ibas dalam jabatan publik dan politik, mengikuti proses berjenjang pula, walaupun untuk Ibas dianggap terlalu cepat. SBY cukup sabar menunggu sampai anak2nya siap, dan membuat pencitraan yang baik dengan menyatakan bahwa tidak satupun dari keluarganya yang akan mencalonkan diri untuk menggantikan dirinya pada tahun 2014. Pada tingkat nasional, apalagi di Jakarta atau Propinsi2 lain yang besar misalnya di Jawa dan Sumatra Utara, dengan tingkat pendapatan yang relatif tinggi dan akses informasi yang besar, gaya yang diadopsi para pemimpin daerah, memang akan sulit berhasil. Masyarakat kota sudah sangat kritis dan segera akan menjadi sorotan media (media darling) dan bulan2an komentar dalam berbagai media sosial, yang akan menghasilkan persepsi dan citra yang negatif. Sebagaimana yang kita lihat, dan sudah menjadi rahasia umum, bahwa ketidak berhasilan Megawati dalam pemilihan Presiden yang sudah 2 kali diikutinya, adalah karena persepsi dan citra masyarakat yang tidak tinggi atas kualitas Megawati dan Puan Maharani sebagai pemimpin.

Selain kualitas SDM dan kelembagaan parpol yang masih lemah banyak alasan mengapa di Idonesia politik dinasti tumbuh subur, sebagaimana berikut ini yang saya kutip dari: Konstelasi, Edisi ke-30 Maret 2011: "Indonesia Rawan Politik Dinasti" yang dimuat dalam blog Perhimpunan Pendidikan Demokrasi:


"Ada banyak alasan untuk menyimpulkan politik dinasti dan dinasti politik bisa tumbuh subur di Indonesia, baik dilihat dari faktor budaya, kognitif-emosional, maupun sosial-ekonomi. Kecenderungan pengkultusan tokoh yang dikeliling sejumlah mitos, jejak-jejak feodalisme yang masih tampak jelas, struktur dan interaksi sosial yang masih tak egaliter, dan kesenjangan antarwarga dalam ekonomi dan pendidikan, bisa jadi alasan itu. Kecenderungan mengkultusan tokoh mengindikasikan adanya kecenderungan memandang kekuatan dan keutamaan tokoh sebagai sifat-sifat yang secara alamiah terberi khusus pada orang tertentu. Lalu disusul anggapan, tokoh itu dilindungi dan dijaga martabatnya secara kodrati, termasuk martabat keluarganya. Keturunannya pun ikut dihormati dan diunggulkan. Jika tokoh itu pernah berkuasa maka keturunannya atau keluarganya dianggap pantas juga berkuasa. Naturalisasi keunggulan tokoh tertentu beserta keluarganya merupakan modal bagi dinasti politik. Indikasi feodalisme tampil dominan di masyarakat Indonesia. Penghormatan yang berlebihan terhadap pejabat tinggi pemerintah, pelayanan yang berlebihan oleh bawahan terhadap atasan, memperlakukan istri dan anak pejabat sebagai orang-orang yang juga perlu dilayani dan diberi fasilitas khusus, “perburuan” gelar bangsawan, kebiasaan menghubung-hubungkan tokoh yang sedang berkuasa dengan kerajaan di masa lalu merupakan sebagian dari contoh gejala yang kental muatan feodalismenya".
Politik Dinasti dan Dinasti Politik Banten
Untuk lebih memahami politik dinasti di Indonesia ada baiknya kita mengamati kasus dinasti politik dan politik dinasti di Banten. Pembentukan dinasti politik di Banten sangat mencolok. Dari 8 Dati II di Banten, semua dikuasaai dinasti politik. 4 daerah dikuasai keluarga Chasan Sohib atau Dinasti Atut (Wabup Serang: Tatu Chasanah, Anak/adik Atut; Walkot Serang: Chaerul Jaman, anak/adik Atut; Wabup Pandeglang: Heryani, istri/ibu tiri Atut; sementara ibu tiri Atut yang lain, Ratna Komalasari menjadi anggota DPRD Serang, dan Walkot Tangsel: Airin Rahmi D, menantu/adik ipar Atut), dan puncaknya Propinsi Banten oleh sang Gubernur Atut, putri mahkota, sementara 4 daerah lagi dikuasai oleh dinasti2 daerah setempat. Pola terbentuknya dinasti politik di Banten tampaknya menjadi steriotip pembentukan dinasti politik daerah di Indonesia. Pada tahap awal seorang Kepala Daerah terpilih, langkah pertama yang dilakukan biasanya adalah memutasi atau mengganti pejabat lama dengan pendukung dan pengikutnya. Kemudian pada suatu ketika pada masa jabatannya ia akan membuat berbagai prosedur dan langkah yang memungkinkan ia dan pengikutnya (keluarganya) lebih mudah terekspos kepada masyarakat. Misalnya istri yang otomatis sebagai Ketua PKK dan atau mendorong anak, adik dan lain2 sebagai Ketua Kelompok Pemuda, pengurus organisasi2 poleksosbud atau bahkan menjadi pimpinan cabang suatu parpol tertentu dimana dengan bantuan fasilitas dan dana dari APBD mereka melakukan berbagai manuver (maneuvre) untuk meningkatkan citra sang Kepala Daerah dan keluarganya.

Pembentukan dinasti Atut dimulai saat pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, untuk Propinsi Banten yang baru berdiri, Tb Chasan Sohib, mengajukan anaknya Ratu Atut Chosiah, melalui Golkar mendampingi Joko Munandar, dari PPP sebagai Gubernur, dan memenangkan pemilihan yang waktu itu masih melalui DPRD. Ketika di tengah perjalanan Joko tersangkut korupsi dan dipenjara, maka Ratu Atut, otomatis menjadi Plt Gubernur Banten. Sesuai dengan pernyataan Ernesto Dal Bo, bahwa saat seorang pejabat memperoleh lebih banyak kekuasaan, segera ia akan mulai membangun suatu politik dinasti, maka mulailah cengkeraman Atut kedalam berbagai kekuasaan dan kegiatan poleksosbud di daerah Banten. Sesuai dengan teori Dal Bo tersebut dan pola pembentukan suatu dinasti yang diuraikan sebelumnya, segera dia mengganti para pejabat di Banten dengan para pendukungnya, dan secara agresif menempatkan kerabatnya untuk memegang pimpinan berbagai organisasi poleksosbud. Untuk masalah keuangan, sudah menjadi rahasia umum, Tb Chasan Sohib, sang ayah, yang sejak Orde Baru sudah dikenal kegiatannya sebagai rent seeker, dan dalam blog Goresan Pena, Rizal Muhammad, menyebutnya sebagai old predator, adalah penentu dari pelaksana proyek2 pembangunan di Banten, sehingga kemudian tidak aneh bila dia kemudian dijuluki atau bahka menyebut dirinya sebagai "Gubernur Jendral" Banten. Dengan dukungan keuangan yang kuat dan fasilitas birokrasi, segera saja jaringan dinasti Atut menggurita di Banten. Dibawah ini adalah gambaran jaringan dinasti Atut yang saya kutip dari blog Perhimpunan Pendidikan Demokrasi; Konstelasi, Edisi ke-31, April 2011:


Raja2 kecil lain di Banten adalah mereka yang saat ini menjadi penguasa di Kabupatan2; Tanggerang (Iskandar) dan Lebak (Jayabaya), Kota2; Cilegon (Safaat) dan Tenggerang (Wahidin Halim). Wahidin Halim, telah menjabat Walkot Tanggerang selama 2 periode, pastilah juga berusaha mencengkramkan kukunya disana, walau belum kelihatan. Tetapi dalam pilkada Tangsel ia mengorbitkan adiknya Suwandi untuk maju sebagai calon Walkot Tangsel, tetapi dikalahkan oleh Airin dari dinasti Atut.  Sedangkan Walkot Cilegon Iman Aryadi, adalah anak Aat Safaat, Walkot lama, yang kemudian menjadi tersangka korupsi. Iman juga dipersiapkan melalui kedudukannya sebagai pengurus partai Golkar Cilegon dan berbagai organisasi sosial lainnya.

Di Kabupaten Tanggerang dan Lebak, yang kedua Bupatinya saya kenal baik, telah menyiapkan dinasti mereka secara sistematis sesuai dengan pola umum yang berlaku. Salah satu jastifikasi mereka yang sampai ke saya adalah bahwa pembentukan dinasti ini dalam rangka memotong gurita Atut untuk menguasai seluruh Banten (tapi melahirkan gurita kecil yang menunggu waktu untuk menjadi besar, pen.). Ismet Iskandar, Bupati Tanggerang, melalui Golkar, menyiapkan putrinya Intan Nurul Hikmah, menjadi Wakil Ketua DPRD Tanggerang, dan anak laki2nya Zaki Iskandar Zulkarnaen, menjadi anggota DPR dan kemudian menggantikan Ismet menjadi Bupati Tanggerang, memang telah sukses menghadang adik Atut yang turut bersaing untuk menguasai Tanggerang dalam Pilkada tahun lalu.

Mulyadi Jayabaya, dari Lebak juga telah menyiapkan putrinya Iti Oktavia sebagai suksesor dengan sistematis. Ia penyandang S-2 dari Universitas yang cukup baik. menjadi Ketua DPC Partai Demokrat Kab. Lebak, bahkan kemudian menjadi salah satu anggota DPP (sementara sang ayah adalah dari PDIP), dan berhasil menjadi anggota DPR RI. Dengan demikian 2 kekuatan politik di Lebak telah di kuasai dinasti Jayabaya. Dalam pilkada Lebak yang akan digelar beberapa bulan lagi di tahun 2013 ini, Iti, dengan dihadiri oleh Ketum Demokrat Anas Urbaningrum, baru2 ini telah mendeklarasikan diri untuk maju menggantikan ayahnya dan akan berhadapan dengan Ade Rossi Chaerunisa (mantu Atut, istri Andika, anggota DPD-RI) dari Serang, yang tampaknya juga bersiap-siap maju dan diusung Partai Golkar. Kita lihat saja apakah Iti benar mampu memotong gurita Atut, seperti yang dikemukakan. Selain Iti, Jayabaya telah menempatkan adiknya Mulyanah, sebagai anggota DPRD Lebak, dan sang suami, ipar Jayabaya, menjadi anggota DPRD Banten. Dalam hal ini Jayabaya cukup lihai dan patut mendapat acungan jempol, untuk mengurangi dampak dan kesan negatif dari pembentukan dinasti yang dia lakukan, Kab. Lebak mendahului Kabupaten2 lain bahkan Propinsi Banten, telah mengeluarkan Perda Transparansi, yang memberikan akses luas kepada masyarakat kepada semua informasi pemerintahan Kab. Lebak.

Ketidakadilan dan Penyimpangan Yang Biasa Terjadi Dalam Politik Dinasti
Dengan mengamati apa yang terjadi di Filipina dan terutama Banten, saya coba mengulas ketidak adilan dan penyimpangan yang sering terjadi dalam politik dinasti. Sebenarnya dengan membaca bagaimana terbentuknya dinasti2 tersebut diatas dan melihat gambar gurita Atut, sudah bisa di duga dimana ketidak adilan dan kecurangan akan terjadi.

Untuk membiayai kegiatan keluarga dan kerabat dalam memimpin berbagai organisasi, sudah tentu diperlukan berbagai fasilitas dan dana yang besar. Pembiayaan ini tentu saja sulit untuk dikeluarkan dari koceknya sendiri yang sudah terkuras saat mereka maju di pilkada untuk memperoleh posisi yang diduduki, dan yang  harus diprioritaskan pengembaliannya, tetapi juga mereka berpikir: "bukankah aktifitas saya untuk kepentingan masyarakat juga, mengapa dananya harus dari kantong saya"? Maka mulailah terjadi kebocoran dalam penggunaaan anggaran pembangunan dan belanja daerah (APBD), terutama dalam anggaran pembiayaan pembangunan infra struktur dan anggaran yang sebenarnya untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, misalnya bantuan sosial (bansos), pembangunan fasilitas kesehatan dan fasilitas pendidikan yang dialokasikan cukup besar.

Cara yang biasa adalah dengan menunjuk mereka yang melaksanakan pembangunan dan pengadaan barang dan jasa, dari perusahaan "plat merah" atau "cv aku", yaitu perusahaan milik mereka sendiri atau yang berafiliasi dengan mereka (Chasan Sohib dan Jayabaya, asal muasalnya adalah kontrarktor). Atau dengan menjadi "penentu" dari pemenang tender dalam pelaksanaan pembangunan dan pengadaan, dengan cara memberi informasi tentang hal yang berkaitan dengan proses tender, dimana sebagai kerabat yang dekat dengan kekuasaan tentu punya akses terhadap informasi tersebut, dan kemudian memperoleh "fee" untuk itu. Mungkin saja tidak terjadi "mark up" dalam penetapan HPS (Harga Perkiraan Sendiri, OE; owner estimate), karena pada umumnya mengikuti standar yang telah ditetapkan, tetapi karena harus membayar fee dan juga memperoleh keuntungan, maka yang terjadi adalah penurunan spec dari sarana dan peralatan yang dibangun dan diadakan. Jadi tidak aneh kalau bangunan dan jalan2 yang dibangun menjadi cepat rusak, dan ini justru yang diinginkan karena berarti akan kembali ada proyek yang bisa digarap.

Dalam kasus pengadaan, seorang junior saya bercerita, bagaimana dia pada tahun 2011, diminta menjadi saksi ahli di Kejati Banten, soal pengadaan tanah untuk proyek pemerintah Banten dan diduga telah terjadi "mark up" yang melibatkan kerabat dari sang dinasti. Permainan ini begitu licin, dimana sang kerabat yang tahu lokasi dan perkiraan biayanya, tidak muncul, tetapi menggunakan orang lain untuk membeli lebih dulu. Kemudian mengarahkan Lurah agar menetapkan NJOP lebih tinggi untuk tanah tersebut dan "mengatur" 1 atau 2 pemilik tanah sekitar untuk memasang "plang" seolah akan dijual. Kemudian saat Tim Pengadaan Tanah mencari informasi harga pasar di daerah tersebut, sudah diatur pula untuk dijawab dengan harga berapa akan dijual, yang tentunya jauh lebih tinggi dari harga yang sebenarnya. Maka ketika terjadi jual beli, dinyatakan bahwa Pemda Banten, dalam pengadaan tersebut telah sesuai dengan prosedur dan membeli dengan harga pasar (walau sebenarnya telah mengeluarkan biaya yang jauh lebih tinggi dari yang seharusnya).

Sebagaimana hasil investigasi di Filipina, dimana di daerah yang dikuasai dinasti politik, kebocoran pembangunan infra struktur mencapai 12.5 - 25% dan pengadaan untuk keperluan yang berkaitan dengan IPM mencapai 50%, tampaknya di Banten, walaupun belum ada investigasi khusus untuk itu dan tidak yakin juga bisa sebesar itu, kebocoran anggaran disektor belanja publik tersebut yakin terjadi. Indikasinya adalah akumulasi perkembangan aset milik dinasti yang secara kasat mata bisa dilihat begitu cepat (yang sudah menjadi rahasia umum), sementara pencapaian peningkatan IPM penduduk Banten sangat rendah. Berdasarkan data dari BPS, pada tahun 2002, diawal berdirinya, IPM Propinsi Banten adalah 66,6, lebih tinggi dari Jawa Timur 64,1 dan Jawa Tengah 64,6 serta Propinsi Gorontalo sebesar 64.1 yang juga baru terbentuk. Pada tahun 2011, IPM Banten meningkat menjadi 70,9, Jatim 72,2, Jateng 72, 9 sementara Gorontalo menjadi 70, 8 (dari 64.1). Tingkat IPM Banten adalah terendah di pulau Jawa, secara nasional peringkat 23, tetapi tingkat pertumbuhan IPM Propinsi Banten, dalam kurun waktu 8 tahun adalah no.2 terendah diseluruh Indonesia, yaitu dibawah angka 5, kalah bahkan oleh Papua, yang dalam kurun waktu sama tingkat pertumbuhannya 5.36 atau Irjabar, dalam jangka waktu 7 tahun dengan tingkat pertumbuhan 6 (yang terendah adalah tingkat pertumbuhan IPM DKI, tetapi sejak 2002, memang sudah mencapai tingkat IPM tertinggi di Indonesia).

Wilayah lain dimana terjadi penyimpangan dan ketidak adilan untuk daerah yang dikuasai dinasti politik adalah dalam rekrutmen jabatan publik, khususnya rekrutmen penerus dari posisi sang petahana, yang tentunya merupakan keluarga petahana. Langsung kita simak kasus dinasti Atut sebagai contoh. Dia telah menempatkan Andika Hazrumi, anak, sebagai Bendahara Karang Taruna Banten dan Ketua Taruna Tanggap Bencana dan juga di besut oleh Ansor untuk menjadi Wakil Ketua GP Ansor. Masih jamak bila yang dilakukan saat terjadi bencana, tetapi yang terjadi ketika menghadapi Pemilu 2009, saat ia maju menjadi anggota DPD-RI, membuat kandidat lain meradang. Ia berkeliling seperti sinterklas membantu memberi "pembekalan" berbagai kelompok pemuda dan bermuara kepada, baik terucap maupun tersirat suatu "pengarahan" untuk dirinya. Seorang Lurah pernah bercerita bahwa mereka beserta dengan Camat telah dikumpulkan oleh Gubernur di Hotel Jayakarta, Jakarta, untuk menerima "pembekalan" dan "pengarahan". Tentu saja sang Camat/Lurah akan berusaha untuk mensukseskan apa yang diarahkan, karena kalau tidak sukses apalagi "jeblok", maka ada risiko bagi posisinya.

Dalam kasus Airin Rachmi Diani, ipar Atut, waktu mengikuti pilkada walkot Tangsel, MK telah menetapkan bahwa pilkada Tangsel secara keseluruhan harus diulang, karena terjadi banyak penyimpangan dan kecurangan. Machfud MD, Ketua MK, menyatakan bahwa pilkada yang dinyatakan harus diulang adalah bila terbukti terjadi kecurangan secara sistematis, terstruktur dan masif, dan berdasarkan fakta persidangan, ternyata Airin telah melakukan kecurangan seperti itu. Kriteria sistematis, terstruktur dan masif, berarti kecurangan itu dilakukan secara terencana (dan tentunya ada pengaruh birokrasi) dan besar2an. Kita "maklum" bila rakyat yang masih rendah tingkat pendidikannya dan tinggi tingkat kemiskinannya, menerima saja apa yang terjadi, disamping memang tak berdaya, juga yang penting bagi mereka adalah ada kesempatan untuk menyaksikan keramaian dan hiburan, kesempatan untuk berdagang sesaat waktu ada keramaian, kesempatan memperoleh sembako dan kaos atau kesempatan memperoleh sedikit uang. Oleh karena itu populer sekali kalimat "amplopnya mana?" pada saat kampanye pemilu/pilkada di Banten.

Tetapi bagi yang masih memiliki hati nurani dan nalar hal itu cukup membuat miris dan ber-tanya2: a) kalau terbukti ada kecurangan yang besar2an seperti itu, kok sangsinya hanya diulang? bukankah  harusnya didiskualifikasi? (tetapi tentu ini berkaitan dengan perUUngan yang berlaku), b) Apa yang kita harapkan akan dilakukan oleh pemimpin yang meraih kekuasaan dengan kecurangan seperti itu? Jawabannya hanya menimbulkan kekhawatiran bahwa pilkada, apalagi dengan dua putaran, pasti telah menghabiskan dana puluhan miliar, dan tentulah yang terpikir oleh sang pemenang adalah bagaimana memburu rente untuk mengembalikan uang yang telah dikeluarkan, dengan imbal baliknya. Muara dari semuanya adalah rendahnya tingkat pencapaian IPM, tidak proporsional dengan alokasi belanja publik yang dikeluarkan, sebagaimana fakta di Filipina dan Banten.

Banyak lagi wilayah2 dimana mungkin terjadi penyimpangan dan ketidak adilan dalam suatu pemerintahan yang dikuasai suatu dinasti politik. Tetapi saya anggap 2 contoh itu sudah cukup menggambarkan bahwa politik dinasti adalah politik parasit, dimana calon2 pemimpin turunan ini memanfaatkan berbagai kemudahan dan numpang popularitas petahana. Juga tampak jelas bagaimana dekatnya politik dinasti dengan KKN.

Penyebarannya Harus Segera Dicegah
Fenomena Banten ini harus dicegah jangan sampai menjalar lebih luas lagi ke daerah2 lain di Indonesia. Karena bukan saja kita tidak akan diperoleh pimpinan terbaik, tetapi juga akan banyak menimbulkan ketidak adilan yang akan berdampak kepada rendahnya partisipassi rakyat dan bermuara kepada rendahnya pencapaian tingkat kesejahteraan rakyat yang menjadi tujuan pembangunan kita yang diukur dari tingkat indeks pembangunan manusia. Kalau sudah merebak keberbagai daerah di Indonesia, akan sulit untuk melakukan perubahan seperti yang dialami Filipina. Berdasarkan Konstitusi Filipina 1986, politik dinasti disana sebenarnya dilarang, tetapi ada fasal yang menyatakan bahwa pelaksanaannya harus didefinisikan dan diatur dalam undang-undang. Sampai sekarang hampir 30 tahun, Senat Filipina belum berhasil mengeluarkan undang-undang dimaksud, karena sudah terlanjur bercokol para legislator yang berasal dari para dinasti politik di daerah2 yang dengan berbagai alasan berusaha menjegal keluarnya UU anti dinasti.

Kondisi Indonesia dengan tingkat pendidikan rendah, kemiskinan tinggi dan kultur feodal yang kental, belum memungkinkan untuk mengadopsi terbentuknya politik dinasti yang bebas, harus dibatasi. Mengacu kepada pengalaman Filipina, kondisi Indonesia dan banyaknya ketidak adilan yang terjadi dalam politik dinasti, Pemerintah telah berinisiatif untuk mengajukan rancangan revisi UU Pilkada (UU No.32/2004) yang akan membatasi terjadinya politik dinasti. Dalam rancangan revisi ini, maka istri, keluarga secara vertikal (ayah, anak) dan horizontal (kakak, adik) tidak boleh mengajukan diri sebagai calon pengganti petahana, kecuali telah meliwati jeda selama 1 periode. Menurut saya, ini tidak mengurangi hak konstitusi, hanya mengatur, karena mereka boleh saja maju di daerah lain dimana sang petahana bukan merupakan keluarga mereka atau kalau untuk daerah yang sama menuggu sampai liwat satu periode setelah sang petahana kerabat menjabat.

Demokrasi dengan hak konstitusional yang kuat bagi rakyat untuk dipilih, bukan tujuan tetapi alat untuk mencapai kemakmuran rakyat yang adil dan sejahtera. Kalau dalam pelaksanaannya mengingat kondisi bangsa kita, masih melekat kemungkinan adanya ketidak adilan dan penyelewengan, mengapa kita tidak bisa atur agar terwujud suatu demokrasi yang berkeadilan. Saya tidak mengerti dengan politikus muda PDIP, Ganjar Pranowo, yang menolak pembatasan politik dinasti dengan alasan tingkatannnya masik kecil baru sekitar 5% (mudah2an ini hanya sekedar siasat agar pencalonannya menjadi Gubernur Jateng, tidak diveto oleh Puan putri mahkota dinasti di PDIP). Bukankah justru lebih baik mencegahnya menjadi besar daripada membiarkan besar dulu, baru dicegah. Bukankah pengalaman Filipina membuktikan, selama 30 tahun, berusaha membatasi dinasti politik, tetapi selalu batal, karena para legislator terlanjur berasal dari para dinasti politik.


sumber : http://saifulmruky.blogspot.com/2013/03/dicopy-dari-namprel.html

0 komentar: