A. Biografi dan Pendidikan
Segala bidang intelektual
dibentuk oleh setting sosialnya, terutama berlaku untuk ilmu sosial seperti
sosiologi dimana tidak hanya berasal
dari kondisi sosialnya, tetapi juga menjadikan lingkungan sosial sebagai basis
masalah pokoknya. Kebanyakan dari masyarakat menganggap istilah sosiologi itu
muncul dari peradaban barat sebagai fenomena yang relatif modern. Sebenarnya,
istilah sosiologi tidak hanya berasal dari tokoh sosiolog barat, namun ada juga
tokoh sosiologi yang berasal dari negeri muslim, seperti Ibnu Khaldun. Tokoh
yang dibahas ini memiliki nama lengkap yaitu Waliy al-Din ‘Abd al-Rahman bin
Muhammad bin Muhammad binMuhammad bin al-Hasan bin Jabir bin Muhammad ibn
Ibrahim bin ‘Abdal-Rahman bin Khaldun (Suharto, 2006).
Tokoh sosiologi muslim yaitu Ibnu
Khaldun merupakan seseorang yang berkebangsaan Tunisia. Ia lahir di Tunisia,
Afrika Utara pada permulaan bulan ramadhan tanggal 27 Mei 1332 (Faghirzadeh
dalam Ritzer, 2004:8). Terlahir dari keluarga Andalusia (Spanyol) yang
berimigrasi dari Andalusia (Spanyol) ke Tunisia pada pertengahan abad ke 7 H
dan juga merupakan keluarga terpelajar, Ibnu Khaldun mengenyam pendidikan
dengan masuk ke sekolah al-Quran, kemudian mempelajari ilmu matematika dan
sejarah. Semasa hidupnya, ia bekerja sebagai duta besar, bendeharawan, dan
anggota dewan penasihat Sultan di berbagai negara seperti Tunisia, Maroko,
Spanyol, dan Aljazair. Seorang Ibnu Khaldun bukan hanya orang yang memiliki
akar yang kuat dalam hal keagamaan, ilmu tassawuf, fikih, dan bahasa Arab,
tetapi juga sebagai sarjana yang mempelajari dan menguasai ilmu-ilmu sosial.
Semua yang ada dalam dalam hidup Ibnu Khaldun merupakan turunan dari ayahnya
sendiri yaitu Abu Abdullah Muhammad. Setelah lama malang melintang dalam dunia
perpolitikan ayah Ibnu Khaldun mengundurkan diri dan mengabdikan diri kepada
dunia ilmu pengetahuan dan kesufian, ahli bahasa dan sastra Arab.
Ayah Ibnu Khaldun meninggal
karena terkena penyakit pes yang mewabah pada tahun 1348-1349 M, pada waktu itu
Ibnu Khladun baru berumur tujuh belas tahun. Akibatnya, Ibnu Khaldun tidak bisa
melanjutkan studinya di Tunisia, dan juga pindahnya para ulama dan sastrawan
yang mengajari Ibnu Khaldun ke Magrib, al-Aqsa akibat serangan wabah pes. Namun
Ibnu Khaldun tidak patah semangat. Di masa muda, ia bekerja di istana Abu Inan
Fez pada tahun 755 Hijriyah (1354 M). Namun nasib sial pernah dialaminya, Ibnu
Khaldun pernah mengalami kehidupan di balik penjara sebagai narapidana selama 2
tahun di Maroko karena keyakinannya bahwa penguasa negara bukanlah pemimpin yang
mendapatkan kekuasaan dari Tuhan (Ritzer dan Goodman, 2004:8).
Setelah kurang lebih dua dekade
aktif di bidang politik, Ibnu Khaldun kembali ke Afrika Utara untuk melakukan
studi dan menulis secara intensif selama 5 tahun. Karya yang dihasilkannya itu
seperti Muqaddimah Ibn Khaldun yang berisi 6 bab yaitu Peradaban Umat Manusia
Secara Umum (Sosiologi Umum), Masyarakat Pengembara, Kabilah-kabilah dan Etnis
yang Liar (Sosiologi Pedesaan), Dinasti, Kerajaan, Khilafah, Pangkat
Pemerintahan (Sosiologi Politik), Negeri dan Kota (Sosiologi Kota),
Pertukangan, Kehidupan, Penghasilan dan Segala Aspeknya (Sosiologi Industri),
Ilmu pengetahuan, Cara Memperolehnya dan Mengajarkannya (Sosiologi Pendidikan).
Selain itu karyanya yang lain berjudul Al-Ibar, Al-Ta’rif, dan Syifa’al-sail li
Tahdhib al-Masa’il. Karya yang dihasilkan selama 5 tahun itu meningkatkan kemasyhuran dan membuat ia
diangkat menjadi guru di pusat studi Islam Universitas Al-Azhar di Kairo. Dalam
mengajarkan tentang masyarakat dan sosiologi, Ibnu Khaldun menekankan
pentingnya menghubungkan pemikiran sosiologi dan observasi (Ritzer dan Goodman,
2004:8). Setelah malang melintang dalam dunia ilmu pengetahuan, akhirnya Ibnu
Khaldun meninggal pada 25 Ramadhan 808 H atau 19 Maret tahun 1406 M dalam usia
74 tahun. Ibnu Khaldun tak berpengaruh secara dramatis terhadap sosiologi
klasik, tetapi setelah sarjana pada umumnya dan sarjana Muslim pada khususnya
menelitu ulang karyanya, ia mulai di akui sebagai sejarawan yang mempunyai
signifikasi historis (Ritzer dan Goodman, 2004:8).
B. Pemikiran
Masyarakat Badui versus
Masyarakat Kota
Manusia merupakan makhluk sosial,
yaitu makhluk yang selalu membutuhkan orang lain dalam mempertahankan hidupnya,
sehingga adanya keharusan bagi manusia untuk hidup bermasyarakat dan berorganisasi
sosial (Khaldun dalam Sunanto, 2011). Setelah itu, keharusan kedua yaitu
manusia hanya mungkin bertahan hidup dengan bantuan makanan. Untuk
memperolehnya, manusia tidak hanya diam saja, pasti membutuhkan pekerjaan.
Menurut Khaldun manusia juga membutuhkan orang lain untuk melindungi dirinya
dari segala mara bahaya. Oleh karena itu, untuk mempertahankan hidup, manusia
tetap saling membutuhkan bantuan dari yang lainnya, sehingga organisasi
kesehatan kemasyarakatan merupakan sebuah keharusan.
Sumbangan intelektual Ibnu
Khaldun bagi pengembangan tradisi pemikiran Barat sangat berarti. Melalui karya
buku Muqaddimah, Khaldun menyumbang pemikiran metodologi ilmiah berupa kajian
teoritis empiris di bidang ilmu-ilmu sosial jauh sebelum munculnya tokoh sosiologi
August Comte. Dalam metodologinya, Khaldun amat mengutamakan data-data empirik,
verifikasi teoritis, pengujian hipotesis, dan metode observasi yang kesemuanya
merupakan dasar-dasar pokok dalam penelitian keilmuan Barat dan dunia pada
umumnya. Khaldun menurut Garaudy, juga telah menunjukkan adanya pengaruh iklim,
geografi, dan keadaan ekonomi terhadap kehidupan bangsa-bangsa, mempelajari
struktur dan fungsi masyarakat bertitik tolak dari pembagian kerja, peranan
solidaritas sosial (asshobiyah) dalam pembentukan negara dan kehancuran
kekuasaan imperium serta membuktikan bahwa perbedaan cara mencari kehidupan
akan mempengaruhi adat kebiasaan dan pikiran bangsa-bangsa (Ahmad, 2001:22).
Dalam topik ini, saya akan
membahas tentang pemikiran dari Ibnnu Khaldun yang dipandang sebagai sosiolog
sejati. Hal ini didasarkan pada pernyataannya tentang beberapa prinsip pokok
untuk menafsirkan peristiwa-peristiwa sosial dan peristiwa-peristiwa sejarah.
Prinsip-prinsip yang sama juga dijumpai dalam analisis Khaldun mengenai timbul
dan tenggelamnya negara-negara. gejala-gejala itu juga akan terlihat pada
kehidupan yang bersifat nomaden (berpindah-pindah) seperti kehidupan
orang-orang Badui, Barbar, Turki, dan Kurdi. Ibnu Khaldun membagi dua jenis
kelompok sosial yang keduanya memiliki karakter yang cukup berbeda. Dua
kategori kelompok sosial tersebut adalah pertama “badawah” yaitu masyarakat
yang tinggal di pedalaman, masyarakat primitif, atau tinggal di daerah gurun.
Khaldun sering menyebut masyarakat ini sebagai masyarakat Badui. Kedua,
“hadharah” yaitu masyarakat yang identik dengan kehidupan kota di mana Khaldun
sering menyebut masyarakat ini sebagai masyarakat perkotaan. Masyarakat kota
menurut Khaldun banyak berurusan dengan kehidupan yang enak, mewah, dan banyak
mengikuti hawa nafsu. Masyarakat Badui, walaupun juga sama berurusan dengan
duniawi, tetapi mereka masih dalam batas yang wajar atau hanya sesuai kebutuhan
dan bukan dalam kemewahan, hawa nafsu, dan kesenangan (Khaldun dalam Sunanto,
2011:31). Adapun menurut Robert H. Lauer, dia berpendapat bahwa:
Both Bedouins and sedentary
people are “natural groups,” i.e., grups that result from differing ways of
making a living. The Bedouins live a Spartan existence; their life is
diffficult and simple. They subsist in the dessert and make their living
through the raising of camels. This distinguishes them from most Berbers and
non-Bedouins, who cultivate grain and engage in agriculture, and from a number
of other groups who make their living from such animals as sheep and cattle.
The Bedouins are unable to secure anya but the bare necessities of existence.
Their way of life generates in them great courage and a high degree of
self-determination. There is also intense solidarity among the Bedouins,
indeed, the rigors of existing in the desert demand of cooperative efforts that
arise from group solidarity . the net result of all this is that the Bedouins
are “the most savage human beings that exist” (Khaldun dalam Lauer,
1990:36-37).
Kondisi fisik tempat tinggal
masyarakat Badui memiliki pengaruh besar dalam kehidupan beragama mereka.
Masyarakat Badui yang hidup sederhana dibanding dengan masyarakat perkotaan dan
hidup dengan kesederhanaan, memiliki tingkat ketakwaan yang lebih dibandingkan
dengan masyarakat kota. Orang Badui memiliki sikap pemberani dari pada orang
kota karena memang orang Badui itu jauh dari kemewahan dan untuk segala apapun
harus dilakukan dengan tenaga yang tentunya tidak mudah dan ini sering disebut
masyarakat mekanis. Berbeda dengan orang kota yang masyarakatnya sudah bersifat
organis di mana hidupnya lebih suka pada yang mewah-mewah, hidup ingin yang
serba mudah dan praktis, sehingga membuat kebanyakan masyarakat kota menjadi
malas-malasan. Selain itu, masyarakat Badui memiliki ikatan solidaritas yang sangat
kuat dan membuat mereka mampu mempertahankan diri. Khaldun menyebut solidaritas
sosial dengan istilah ‘asshobiyah (Khaldun dalam Sunanto, 2011:31).
Selain itu masyarakat Badui juga
memiliki fanatisme primordial yang tinggi, seperti yang diungkapkan Rais dalam
bukunya Teori Politik Islam.
Fanatisme primordial menurut
Khaldun adalah ikatan-ikatan solidaritas dan gotong royong dalam lingkup satu
keluarga atau satu kabilah tertentu. Keluarga atau klan yang terkuat pastilah
yang memiliki kekentalan fanatisme primordial yang paling kuat dan selanjutnya
yang paling memiliki kekuatan penekan. Karena itu fanatisme primordial akan
menjurus ke arah sistem kerajaan sebagai sesuatu yang natural dan sebagai
sebuah hukum alam (Rais, 2001).
Seperti teori yang diungkapkan
Rais di atas, adanya fanatisme primordial juga akan menimbulkan suatu konflik
sosial antara masyarakat nomadik dengan masyarakat perkotaan. Ini ditandai oleh
dinamika konflik perebutan kekuasaan oleh kelompok-kelompok yang hidup dizaman
itu. Juga ditandai dengan kemunculan kelompok-kelompok yang memperebutkan
kekuasaan dalam negara kekhalifahan. Sehingga negara sering berada dalam keadan
ketidakstabilan politik. Kondisi inilah yang mempengaruhi pemikiran sosiologi
konflik Ibnu Khladun. Dia memperlihatkan bagaimana dinamika konflik dalam
sejarah menusia sesungguhnya ditentukan oleh keberadaan kelompok sosial yang
berbasis pada identitas, golongan, etnis, maupun tribal. Kelompok sosial dalam
struktur sosial mana pun dalam masyarakat dunia memberi kontribusi terhadap
berbagai konflik. Hal ini dipengaruhi oleh sifat manusia yang sama dengan
hewan. Nafsu adalah kekuatan hewani yang mempu mendorong berbagai kelompok
sosial menciptakan berbagai gerakan untuk memenangi (to win) dan menguasai (to
rule) (Susan, 2009: 30).
Masyarakat kota lebih bersifat
individualis karena mereka hidup dipenuhi dengan bekerja, memperoleh banyak
uang dan hidup mewah, sehingga mereka beranggapan tidak membutuhkan orang lain
lagi. Segala sesuatu dinilai dengan uang. Individualitas inilah yang kemudian
berdampak pada lemahnya ikatan solidaritas mereka. Bagi masyarakat Badui, ada
dorongan kuat bagi mereka yang memiliki kehidupan terbatas dan ingin menikmati
kehidupan mewah untuk melakukan urbanisasi serta ekspansi ke masyarakat kota.
Orang-orang Badui pun pindah ke kota untuk mengadu nasib. Perkotaan pun mulai
dikuasai oleh orang-orang Badui, sehingga solidaritas yang awalnya lemah
menjadi kuat. Namun ini hanya berlangsung singkat. Adanya kemewahan yang
didapat di kota, membuat masyarakat Badui lupa akan pentingnya solidaritas
sosial. Mereka tidak ubahnya seperti masyarakat kota dahulunya sebelum mereka
datangi. Solidaritas merupakan kunci utama yang dapat mempertahankan keutuhan
masyarakat. Masyarakat yang individualis akan sangat mudah dihancurkan oleh
masyarakat yang memiliki solidaritas sosial yang sangat kuat.
C. Aplikasi Teori Ibnu Khaldun
Pada Saat Ini
Wah, 3.055 Anak Suku Terasing
Putus Sekolah
Kamis, 27 September 2012 | 13:29
WIB
MAMUJU, KOMPAS.com — Sebanyak
3.055 anak keluarga suku terasing atau suku Bunggu di Kabupaten Mamuju Utara,
Sulawesi Barat, masuk dalam kategori putus sekolah.
"Hasil pendataan yang
dilakukan hingga akhir 2011 terungkap angka putus sekolah anak suku Bunggu
mencapai 3.055 anak. Ini tentu menjadi perhatian kami agar anak-anak yang putus
sekolah di daerah pedalaman itu juga mendapatkan pendidikan seperti kondisi
daerah lainnya," kata Kepala Dinas Pendidikan Sulbar Jamil Barambangi di
Mamuju, Kamis.
Karena itu, kata dia, anak-anak
yang putus sekolah ini akan dirangkul agar mereka bisa mengikuti pendidikan
yang layak seperti masyarakat yang ada di daerah pedesaan ataupun perkotaan.
"Untuk menuntaskan angka
putus sekolah pada wilayah suku terasing ini bukan perkara mudah karena mereka
punya tradisi kehidupan yang tidak sama dengan masyarakat yang ada di wilayah
perkotaan," kata dia.
Apalagi, lanjut dia, suku
terasing ini sebagian ada yang masih melakukan sistem bercocok tanam secara
berpindah khususnya suku Bunggu bagian dalam.
Jamil mengatakan, tahun ini
dirinya telah memberikan perhatian serius agar masyarakat suku terasing
mendapatkan pendidikan setara dengan daerah lain. "Tahun ini kita telah
alokasikan anggaran pendidikan untuk suku terasing sekitar Rp 200 juta,"
kata Jamil.
Menurut dia, suku Bunggu bagian
luar sudah berbaur dengan masyarakat dengan membentuk permukiman baru, bahkan
sudah mulai mengikuti perkembangan zaman. Mereka tak lagi membuat rumah di atas
pohon, tetapi telah membangun pondokan seperti masyarakat lain pada umumnya.
Walau demikian, kata dia, suku
Bunggu yang telah tinggal menetap ini masih tertinggal dan bahkan angka buta
aksara di daerah itu sangat tinggi. "Makanya, kami mencoba melakukan
interpensi agar suku primitif di Matra ini mampu berkembang lebih jauh
lagi," terangnya.
Jamil yang juga mantan ketua KPU
Sulbar ini juga menyampaikan, suku Bunggu bagian dalam yang hidupnya masih
sangat primitif ini hendaknya tetap dijaga keasliannya.
"Suku Bunggu bagian dalam
akan kita jaga keasliannya sembari kita lakukan langkah-langkah agar mereka
mendapatkan pendidikan yang layak," ucapnya.
Sebab, ujar dia, suku terasing
bagian dalam itu merupakan aset budaya yang harus dijaga sebagai kekayaan
budaya kearifan lokal di daerah ini. "Suku Bunggu merupakan aset budaya
yang perlu kita jaga. Biarkanlah mereka hidup dengan cara tradisional tetapi
tetap diberikan perhatian khusus bagi generasi suku terasing itu sendiri,"
pungkas Jamil.
Analisis
Dari kasus yang ada di atas,
diberitakan bahwa sekitar 3.055 anak dari suku Bunggu yaitu suku yang terasing
terletak di Kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi Barat mengalami tingkat putus
sekolah yang sangat tinggi. Adapun kaitannya dengan hasil pemikiran dari Ibnu
Khaldun adalah banyak anak putus sekolah di suku Bunggu bagian dalam ini karena
tempat tinggal mereka yang masih bersifat nomaden (berpindah-pindah) dan bisa
disebut juga sebagai masyarakat primitif. Berbeda dengan suku Bunggu bagian
luar yang tempat tinggalnya sudah banyak yang menetap layaknya masyarakat
pedesaan atau perkotaan. Hidup masyarakat suku Bunggu bagian dalam masih
bergantung pada alam, seperti yang diungkapkan Ibnu Khaldun bahwa setiap
masyarakat terutama masyarakat primitif seperti suku Bunggu bagian dalam yang
mempengaruhi adat kebiasaan hidup nomaden dan pikiran-pikiran masyarakat adalah
adanya pengaruh iklim, geografi, dan keadaan ekonomi terhadap kehidupan
bangsa-bangsa, mempelajari struktur dan fungsi masyarakat bertitik tolak dari
pembagian kerja, peranan solidaritas sosial (asshobiyah). Iklim dan geografi
sangat mempengaruhi terjadinya perilaku nomaden. Misalnya di daerah satu sudah
ditanami dengan tanaman, maka masyarakat tidak lagi memakai dengan menanam
kembali, tetapi berpindah ke daerah/tempat lain yang masih kosong yang tentunya
daerah yang memiliki iklim dan keadaan geografis yang mendukung. Tujuan hidup
nomaden juga dilatarbelakangi oleh tuntutan ekonomi agar dapat bertahan hidup.
Namun tidak ada struktur dan fungsi dalam pembagian kerja, yang ada dalam
masyarakat suku Bunggu bagian dalam adalah kuatnya solidaritas antar
masyarakat.
Suku Bunggu bagian luar, mereka
sudah berbaur dengan masyarakat dengan membentuk permukiman baru, bahkan sudah
mulai mengikuti perkembangan zaman. Mereka tak lagi membuat rumah di atas
pohon, tetapi telah membangun pondokan seperti masyarakat lain pada umumnya.
Sifat seperti ini menurut Khaldun, sudah bersifat organis di mana hidupnya
lebih suka pada yang mewah-mewah, hidup ingin yang serba mudah dan praktis,
sehingga membuat kebanyakan masyarakat kota menjadi malas-malasan dan cenderung
individualis. Walaupun suku Bunggu bagian dalam merupakan masyarakat yang
primitif dan buta aksara, tetapi pemerintah harus berusaha agar suku tersebut
dapat berkembang layaknya masyarakat suku Bunggu bagian luar tanpa meninggalkan
kebiasaan tradisional mereka dan mendapatkan pendidikan yang layak.
D. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang diambil
dari tulisan di atas adalah Ibnu Khaldun dilahirkan di Tunisia pada awal bulan
Ramadan 732 H atau 27 Mei 1332 M. Keluarga Bani Khaldun berasal dari daerah Hadramaut,
sebuah daerah di selatan Jazirah Arab. Kemudian pindah ke Andalusia dan menetap
di Sevilla pada permulaan penyebaran Islam sekitar abad ke-9 M. Khaldun
meninggal dunia pada tahun 1406.
Manusia merupakan makhluk sosial,
yaitu makhluk yang selalu membutuhkan orang lain dalam mempertahankan hidupnya,
sehingga adanya keharusan bagi manusia untuk hidup bermasyarakat dan
berorganisasi sosial (Khaldun dalam Sunanto, 2011). Sumbangan intelektual Ibnu
Khaldun bagi pengembangan tradisi pemikiran Barat sangat berarti. Melalui karya
buku Muqaddimah, Khaldun menyumbang pemikiran metodologi ilmiah berupa kajian
teoritis empiris di bidang ilmu-ilmu sosial jauh sebelum munculnya tokoh
sosiologi August Comte. Ibnu Khaldun membagi dua jenis kelompok sosial yang
keduanya memiliki karakter yang cukup berbeda. Dua kategori kelompok sosial
tersebut adalah pertama “badawah” yaitu masyarakat yang tinggal di pedalaman,
masyarakat primitif, atau tinggal di daerah gurun. Khaldun sering menyebut
masyarakat ini sebagai masyarakat Badui. Kedua, “hadharah” yaitu masyarakat
yang identik dengan kehidupan kota di mana Khaldun sering menyebut masyarakat
ini sebagai masyarakat perkotaan.
Kondisi fisik tempat tinggal
masyarakat Badui memiliki pengaruh besar dalam kehidupan beragama mereka.
Masyarakat Badui yang hidup sederhana dibanding dengan masyarakat perkotaan dan
hidup dengan kesederhanaan, memiliki tingkat ketakwaan yang lebih dibandingkan
dengan masyarakat kota. Selain itu masyarakat Badui juga memiliki fanatisme
primordial yang tinggi yang akan menimbulkan adanya suatu konflik sosial antara
masyarakat nomadik dengan masyarakat perkotaan. Masyarakat kota lebih bersifat
individualis karena mereka hidup dipenuhi dengan bekerja, memperoleh banyak
uang dan hidup mewah, sehingga mereka beranggapan tidak membutuhkan orang lain
lagi. Individualitas inilah yang kemudian berdampak pada lemahnya ikatan
solidaritas mereka. Karena itu, Solidaritas merupakan kunci utama yang dapat
mempertahankan keutuhan masyarakat. Masyarakat yang individualis akan sangat
mudah dihancurkan oleh masyarakat yang memiliki solidaritas sosial yang sangat
kuat.
E. Saran
Saran yang ingin disampaikan
penulis adalah
1. Bagi masyarakat pada umumnya terutama
masyarakat perkotaan, hendaknya tidak bersifat individualistik, tetapi saling
menguatkan solidaritas, misalnya mambuat suatu kelompok arisan bagi ibu-ibu
atau karang taruna bagi laki-laki.
2. Bagi masyarakat yang dari kampung/desa dimana
masih menjunjung tinggi solidaritas, ketika pindah ke kota hendaknya tidak
membuat lemah kesolidannya.
3. Masing-masing masyarakat yang berasal dari
suatu desa dan pindah ke kota, hendaknya mereka tidak bersifat fanatisme
primordialisme yang dapat menimbulkan konflik, tetapi mencoba berbaur dengan
masyarakat lain yang mempunyai suku berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Bachtiar, Wardi. 2010. Sosiologi
Klasik. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Kompas, 2012. Wah, 3.055 Anak
Suku Terasing Putus Sekolah, 27 September 2012, Online.
Lauer, Robert H., 1990.
Perspectives on Social Change. United Stated of America : U.S. International
University.
Martono, Nanang. 2011. Sosiologi
Perubahan Sosial. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Rais, Muhammad Dhiauddin. 2001.
Teori Politik Islam. Jakarta : Gema Insani Press.
Ritzer, George dan Douglas J.
Goodman. 2003. Modern Sociological Theory. Diterjemahkan dari bahasa Inggris
oleh Alimandan. Jakarta : Kencana.
Sardar, Ziauddin. 1979. The
Future of Muslim Civilisation. Diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Rahmani
Astuti. Bandung. Penerbit Mizan.
Suharto, Toto. 2006. Filsafat
Pendidikan Islam. Yogjakarta : Ar-Ruzz.
Suhelmi, Ahmad. 2001. Pemikiran
Politik Barat. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Sumber : http://ninaono.blogspot.com/2012/11/bapak-sosiologi-muslim-dunia-ibnu.html
0 komentar:
Posting Komentar